Jakarta – MPI, 24 November 2020 – Pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat, juga memiliki dampak-dampak kerugian yang akan ditanggung oleh buruh migran. UU Pelindungan Pekerja Migran (UU 18/2017) yang bertahun-tahun diperjuangkan revisinya dari UU 39/2004 akan menjadi runtuh karena materi yang diperjuangkan masuk dalam UU dihapus dan di downgrade menjadi aturan dibawah UU.
UU pelindungan pekerja migran Indonesia menjadi sia-sia dengan ditambahkannva Pasal 89A ke dalam UU PPMI sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UU Cipta Kerja yang merubah ketentuan dalam UU PPMI. Dimana pada Pasal 89A menyatakan : “Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha”
SIP3MI (Surat lzin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) menyesuaikan dengan perizinan berusaha di UU Cipta Kerja. Padahal secara filosofi pengaturan perizinan berusaha bagi perusahaan yang menempatkan manusia, tentunya berbeda dengan Perizinan berusaha bagi perusahaan yang bergerak di bidang lain.
Selanjutnya, dalam Perubahan pada Pasal 84 UU Cipta Kerja, terhadap ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU PPMI yang mengatur tentang syarat perpanjangan SIP3MI yang harus dipenuhi, dihapus. Padahal ketentuan norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU PPMI tersebut sebagai bentuk pengawasan dan evaluasi bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3Ml), sebagai upaya pelindungan Pekerja Migran dari P3MI yang tidak professional, tidak berkompeten dan tidak bertanggung jawab.
Perubahan ketentuan norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 87 UU PPMI sebagaimana dijelaskan diatas, sama sekali tidak melibatkan masyarakat sipil.
Apabila UU Cipta Kerja diberlakukan, tentunya akan menimbulkan kerugian secara Iangsung bagi perlindungan pekerja migran dan akan kembali pada titik masa suram pelindungan Pekerja Migran Indonesia saat berlakunya UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Atas dasar hal tersebut diatas, Migrant CARE mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendorong agar Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsi yang melekat pada wewenangnya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan pelindung hak konstitutional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dalam menjamin hak konstitusional pekeria migran Indonesia atas pekerjaan yang layak untuk kehidupan yang manusiawi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan : ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja”.