Jakarta, 21 September 2021 – Hari ini, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai “Perilaku Merokok Selama Pandemi COVID-19 dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga”. Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan perilaku merokok yang berarti pada periode sebelum dan saat pandemi, baik dari sisi kuantitas maupun intensitas merokok, termasuk responden yang berpendapatan rendah. Hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap aspek kesehatan saja, tetapi juga dapat mempengaruhi aspek kesejahteraan materi dan psikologis keluarga. Studi ini kembali menegaskan bahwa perilaku merokok menyebabkan tercemarnya kualitas udara di lingkungan rumah dan membahayakan kesehatan anggota keluarga lainnya. Harga rokok yang murah menjadi salah satu faktor rokok dapat dengan mudah dijangkau. Maka menaikkan harga rokok yang dibarengi dengan kebijakan pengendalian konsumsi rokok secara nonfiskal perlu dilakukan secara konsisten untuk menekan keterjangkauan rokok.
Tingginya konsumsi rokok menjadi salah satu masalah global yang berlangsung secara terus-menerus. WHO (2020) memperkirakan setiap tahunnya sekitar 225.700 jiwa melayang akibat konsumsi rokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan merokok. Ironisnya lagi, prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak-anak juga turut menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa angka perokok anak meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2018. Selain itu, saat ini dunia juga sedang dihadapi dengan pandemi COVID-19 termasuk Indonesia yang turut memperburuk keadaan saat ini, yang utamanya menyerang saluran pernafasan.
Dengan demikian, perokok akan lebih rentan mengalami gejala yang lebih parah jika terkena COVID-19 dibandingkan dengan yang bukan perokok (Guan et al, 2020 – https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa2002032). Risiko terkena COVID-19 bagi perokok nyatanya tidak membuat para perokok mengurangi konsumsi rokoknya di masa pandemi COVID-19. Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) pada tahun 2020 meneliti terkait “Perilaku Merokok pada Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia”.
Hasilnya menunjukkan bahwa 50,2% perokok mengaku jumlah batang rokok yang dikonsumsi selama pandemi COVID-19 tetap. Bahkan 15,2% mengaku jumlah batang rokok yang dikonsumsi meningkat. Ketika ditelisik, 69,77% berasal dari ekonomi dengan penghasilan kurang dari 5 juta rupiah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2021 mengenai “Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah 10 Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia”, yang menunjukkan bahwa tidak banyak terjadi perubahan status merokok setelah 10 bulan pandemi COVID-19 di Indonesia.
Selain itu, adanya variasi harga rokok memungkinkan responden beralih ke produk rokok yang lebih murah, alih-alih berhenti merokok. Mengacu kepada penelitian-penelitian sebelumnya, PKJS-UI melakukan penelitian terkait pandemi COVID-19 dan perilaku merokok dengan mengangkat perspektif istri perokok dengan judul “Perilaku Merokok Selama Pandemi COVID-19 dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga”. Studi ini bertujuan untuk melihat bagaimana perilaku merokok selama pandemi COVID-19 dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga secara holistik. Tidak hanya dari aspek kesehatan, tetapi dampaknya juga dilihat dari aspek kesejahteraan material dan kesejahteraan psikologis.
Mengambil sudut pandang dari istri, selaku perokok pasif yang terpapar asap rokok di rumah, studi ini memberikan perspektif baru bagaimana rokok dapat membahayakan rumah tangga secara lebih luas dan dalam. Dengan melakukan survei secara daring dan menyasar responden wanita berwarga negara Indonesia yang memiliki suami perokok di rumah, studi ini berhasil menjaring sebanyak 779 responden dari berbagai latar belakang sosio-demografi. Metode yang digunakan adalah metode purposive non-probability sampling. Data yang diperoleh dari survei daring tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode statistik deskriptif. Berdasarkan hasil survei, menunjukkan:
1) Dari aspek intensitas merokok, mayoritas responden (62,4%) menyatakan bahwa intensitas merokok suaminya tidak mengalami perubahan selama pandemi dibanding sebelum pandemi dan 13,9 % menyatakan bahwa suaminya semakin sering merokok selama pandemi.
2) Menurut kelompok pendapatan, proporsi responden dengan pada kelompok pendapatan terendah (5 juta ke bawah) memiliki intensitas merokok yang sama dengan responden berpendapatan tinggi (10-20 juta). Padahal, pada kelompok pendapatan rendah tersebut, mayoritas responden menyatakan bahwa kondisi keuangan mereka selama pandemi tergolong “kurang cukup”.
Ditambah lagi, data hasil survei juga menunjukkan bahwa separuh responden pada kelompok pendapatan rendah tersebut (50,86%), mengubah pilihan rokoknya dan beralih ke rokok yang harganya lebih murah. Irfani Fithria Ummul Muzayanah, Ph.D. (Tim Riset PKJS-UI) menyatakan bahwa studi ini melihat dampak perilaku merokok terhadap tiga aspek kesejahteraan keluarga, diantaranya:
1) Dari aspek kesehatan, lebih dari 48% responden merasa bahwa kebiasaan merokok suaminya memiliki pengaruh yang negatif terhadap kondisi kesehatan keluarganya baik istri itu sendiri, anak-anak maupun anggota keluarga lain yang tinggal serumah. Selain itu, lebih dari separuh responden (56%) setuju bahwa kebiasaan suami merokok di rumah menyebabkan tercemarnya kualitas udara di lingkungan rumah;
2) Dari aspek kesejahteraan materi, 63% responden merasa pengeluaran suaminya untuk membeli rokok sangat besar dan hampir 50% responden juga merasa bahwa pengeluaran suami untuk membeli rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran rumah tangga untuk keperluan yang lain. Secara umum, 47% responden setuju bahwa kebiasaan merokok suami turut berkontribusi dalam menurunkan standar kualitas hidup rumah tangga mereka. Temuan ini menguatkan dugaan bahwa crowding out effect pada alokasi pengeluaran rumah tangga terjadi karena belanja rokok suami;
3) Dari aspek psikologis, 65% responden merasa tidak tenang dan tidak bahagia dengan kebiasaan merokok suaminya. Sebesar 89% juga ingin suaminya berhenti merokok yang didorong rasa keberatan jika anak-anaknya akan mengikuti kebiasaan merokok suaminya. Terkait perilaku merokok anak dalam keluarga, data hasil survei menunjukkan bahwa 6,14% anak responden adalah seorang perokok aktif. Ironisnya, 72% istri berpendapat bahwa anak-anaknya merokok karena mengikuti kebiasaan anggota keluarganya yang merokok (dalam hal ini orang tuanya) dan juga disebabkan alasan pergaulan atau ikut-ikutan teman. Dr. Irfani menambahkan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan perlunya intervensi kebijakan, baik yang memengaruhi harga rokok maupun non-harga, karena kedua kebijakan tersebut bersifat komplementer, dan masing-masing memiliki peranan penting dalam pengendalian konsumsi rokok.
Oleh karena itu, penelitian ini memberikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
1) Kementerian Kesehatan perlu memperkuat inovasi layanan konseling maupun hotline untuk memberikan bantuan dan pendampingan bagi orang-orang yang ingin berhenti merokok dengan dukungan tenaga kesehatan profesional;
2) Kementerian Keuangan dapat menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT untuk menekan keterjangakauan pembelian rokok. Langkah ini tentu saja juga harus didukung secara terusmenerus oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama dengan DPR untuk membuat suatu road map bersama yang mendukung kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), menaikkan harga jual eceran (HJE) minimum, dan penyederhanaan strata tarif CHT 3) Langkah bersama antara Kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Bappenas, dan DPR RI untuk mendukung revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 mengenai pelarangan penjualan rokok secara batangan (ketengan) serta mendorong dikeluarkannya kebijakan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perdagangan untuk pelarangan penjualan ini Para penanggap dari beberapa Kementerian dan DPR-RI telah merespons hasil penelitian PKJS-UI hari ini. Bapak Sarno, SST., M.Sc. M. Buss, Ak. CA (Analis Kebijakan Ahli Muda, BKF, Kemenkeu) menyampaikan bahwa penelitian terkait perilaku merokok dan COVID-19 ini sangat relevan dengan situasi saat ini. Bapak Sarno menegaskan bahwa instrumen harga memang sangat penting dalam mengurangi keterjangkauan rokok. Selanjutnya Bapak Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) menambahkan bahwa kelompok pendapatan rendah akan lebih sensitif terhadap perubahan harga, sehingga memang ada pengaruh dari harga roķok dan pendapatan terhadap prevalensi perokok. Selain kebijakan fiskal dan non fiskal, Pak Pungkas menambahkan bahwa harus ada sistem yang menciptakan strategi untuk membantu petani tembakau melalui pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) dan strategi exit (keluar dari industri tembakau).
Penanggap selanjutnya yaitu Ibu drg. Kartini Rustandi, M.Kes (Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) berpendapat bahwa kajian yang dilakukan memang memperkuat data-data yang sudah ada, terlebih di masa pandemi. Dari studi ini terlihat bagaimana konsumsi rokok tidak berbeda dari sebelum dan setelah pandemi, bahkan beralih ke harga yang lebih murah. Data ini bisa memperkuat inisiatif melakukan revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, mencegah perokok anak, dan mendukung roadmap cukai hasil tembakau. Selain itu, upaya kampanye pengendalian tembakau juga harus diperkuat, dan edukasi dilakukan secara masif.
Penanggap terakhir yaitu Bapak Emanuel Melkiades Laka Lena, S.Si., Apt. (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI) sepakat bahwa hasil penelitian ini mendukung data penelitian terdahulu. Bapak Emanuel Melkiades menyatakan anak-anak harus dicegah agar tidak menjadi kelompok baru/cluster baru yang kemudian meneruskan perilaku merokok ini. Mudahnya akses terhadap rokok, perlu dibatasi baik industri rokok tidak boleh mengkampanyekan rokok kepada anak, harus ada penegakan hukum yang tegas kepada penjual apabila menjual rokok terhadap anak-anak. Bapak Emanuel menyampaikan aspek kesehatan harus diutamakan, cukai juga harus diatur untuk rokok, dan pemerintah harus mencari cara untuk mereka yang selama ini bekerja di industri tembakau untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Ketua PKJS-UI, Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D. menambahkan dampak dari kebiasaan merokok pasangan, ditambah lagi dengan pandemi COVID-19 membuat wanita, yang merupakan pasangan atau istri dari perokok, menanggung beban tiga kali lipat lebih berat atau kami sebut sebagai “Triple Burden”. Pertama, mereka termasuk dalam kelompok rentan, kedua, mereka juga menanggung dampak akibat pandemi COVID-19 dan ketiga, mereka juga berisiko terpapar asap rokok lebih sering dan menjadi perokok pasif dengan lebih seringnya suami merokok di rumah. “Hasil riset PKJS-UI memperkuat hasil riset Komnas PT dan CISDI sebelumnya.
Untuk itu prevelensi perokok harus segera dikendalikan dan membutuhkan kerja sama antara kementerian/lembaga dalam implementasi kebijakan pengendaliannya. Adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan regulasi di Pemerintahan,” tutup Aryana Satrya dalam acara hari ini. (red Irwan)