AIHSP Gandeng LIDi Jawa Tengah untuk Perkuat Komunikasi Risiko dan Komunikasi Publik bagi Penyandang Disabilitas
Semarang, 14 Desember 2021 – Meskipun Indonesia menempati urutan kelima negara dengan jumlah terbanyak vaksinasi COVID-19 dosis lengkap yaitu sebanyak 100,8 juta penduduk, namun upaya vaksinasi harus dipercepat dengan memastikan semua warga bisa mengakses layanan vaksinasi, termasuk penyandang disabilitas sebagai bagian dari kelompok rentan yang berpotensi memiliki kormobid.
Untuk mendukung hal ini, Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bekerja sama dengan Unit Layanan Inklusi Disabilitas (LIDi), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Jawa Tengah memperkuat komunikasi risiko dan komunikasi publik bagi penyandang disabilitas untuk memastikan informasi mengenai vaksin dan COVID-19 semakin tersedia dan semakin mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
“Program AIHSP sangat mengapresiasi keberhasilan Pemerintah Indonesia atas tingginya ketercapaian jumlah penerima vaksin di Indonesia. Salah satu tujuan program AIHSP adalah untuk membantu Pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan ketercapaian penerima vaksin, termasuk bagi kelompok-kelompok rentan. Karena itu, senang sekali kami dapat bersama- sama dengan Pemerintah Jawa Tengah berupaya meningkatkan aksesibilitas informasi bagi teman-teman penyandang disabilitas dan lanjut usia. Kami harap kemitraan ini memberi nilai tambah bagi penanganan pandemi COVID-19 di Jawa Tengah, terutama bagi kelompok rentan,” tutur John Leigh, Team Leader AIHSP.
Kemitraan tersebut diawali dengan semiloka terkait komunikasi risiko dan komunikasi publik dengan tujuan melakukan persiapan pembuatan materi komunikasi risiko COVID-19 bagi kelompok disabilitas, serta membahas isu-isu yang dihadapi kelompok tersebut dalam penanganan pandemi dan vaksinasi COVID-19 di Jawa Tengah.
Edy Supriyanto, Ketua LIDi Jawa Tengah menyatakan,”Bertepatan dengan Hari Disabilitas Nasional pada bulan ini, kami menyambut baik kesadaran terhadap terpenuhinya pemeliharaan kesehatan terhadap penyandang disabilitas yang semakin meningkat. Kita memerlukan lebih banyak materi informasi yang dapat diakses oleh teman-teman dengan hambatan penglihatan atau teman-teman tuli. Selain itu, kita memerlukan lebih banyak informasi dengan substansi yang sesuai dengan kebutuhan keseharian dan komorbiditas penyandang disabilitas, sehingga informasi terkait dengan protokol kesehatan dan vaksinasi COVID-19 bisa dipahami.”
Diskusi terkait penyusunan materi komunikasi risiko dan komunikasi publik yang inklusif ini menghadirkan pakar dari Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) Indonesia, sebuah organisasi yang fokus pada kesejahteraan sosial, perlindungan sosial, penguatan ekonomi masyarakat, layanan penyelamatan dan respon kemanusiaan.
“Komunikasi yang sukses dengan penyandang disabilitas adalah menciptakan rasa nyaman saat berinteraksi. Prinsip-prinsip umum untuk berinteraksi dengan kelompok non-difabel antara lain tetap tenang dan menjadi diri sendiri, bersabar dan memberikan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tertentu, serta menunjukkan penghargaan dengan memberikan bantuan di saat yang tepat,” ucap Ari Ananta, perwakilan dari ASB Indonesia.
Diskusi dalam semiloka ini mengupas ragam materi komunikasi yang lebih aksesibel untuk berbagai ragam disabilitas, termasuk orang dengan disabilitas sensori (penglihatan, pendengaran) maupun orang yang kurang mobilitasnya (menggunakan kursi roda, kruk, atau tongkat). Misalnya, menyajikan informasi di poster dengan ukuran huruf yang lebih besar dan pilihan kertas yang tidak menyilaukan mata, komunikasi tatap muka yang memposisikan diri sejajar dengan tingkat mata (eye level), komunikasi verbal yang menggunakan kalimat pendek dan sederhana, dan sebagainya.
Terkait vaksinasi COVID-19 untuk kelompok disabilitas, dr. Retty Kharisma Sari, SpPD, PhD perwakilan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menekankan bahwa terdapat 15% prevalensi kelompok ini di seluruh dunia.
“Kelompok disabilitas perlu divaksin karena beberapa faktor antara lain memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi, akses layanan kesehatan yang terbatas dan sistem imun yang lemah. Selain itu, informasi terhadap kesehatan publik juga masih terbatas, padahal risiko terkena COVID -19 dan risiko kematian lebih tinggi. Untuk itu, vaksinasi bagi kelompok disabilitas perlu diprioritaskan untuk mencegah keparahan dan kematian,” tutup dr. Retty.
(red Irwan)