DBS Asian Insights Conference 2022:  Kementerian Kesehatan Siapkan Transformasi Layanan Kesehatan Menuju Endemi

 

  • Kementerian Kesehatan perbaiki sistem, pendanaan, hingga transformasi sumber daya manusia

  • Bank DBS Indonesia berbagi wawasan mengenai varian Omicron, vaksinasi, dan penanganan pandemi Covid-19

 

MediaPATRIOT – Jakarta, 24 Februari 2022 – Bank DBS Indonesia kembali mengadakan Asian Insights Conference 2022 pada bulan Februari hingga Maret mendatang, dan terbagi menjadi empat sesi. Mengangkat tema “Economy and Environment: Towards a Revolutionary Future”, sesi pertama dalam konferensi tahunan kali ini membicarakan tentang “The Road to Endemic – Finding Normal in New Normal” yang menghadirkan keynote speech oleh Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, serta pakar di bidang kesehatan yakni Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dan Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi, pakar mikrobiologi Universitas Indonesia Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D dan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dan Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof. Tjandra Yoga Aditama. Melalui tema ini, para pakar memberikan wawasan terkait varian Omicron yang belakangan merebak, pengendalian pandemi, serta langkah-langkah pemerintah dalam mendukung pemulihan berbagai sektor di Indonesia.

 

Paulus Sutisna, Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia mengatakan, “Merupakan suatu kehormatan bagi Bank DBS Indonesia dengan hadirnya berbagai pakar di bidang kesehatan berbagi informasi kepada masyarakat Indonesia di sesi pertama Asian Insights Conference 2022 ini. Kami optimis, jika program vaksinasi dapat berjalan lancar dan situasi pandemi terkendali dengan baik, maka daya beli akan secara bertahap kembali normal, dan meningkatkan kesempatan kerja serta tingkat produksi sehingga membawa manfaat signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Inilah yang melatarbelakangi visi Bank DBS yaitu sebagai Best Bank for a Better World di mana kami berupaya untuk berkontribusi secara positif untuk dunia yang lebih baik.”

 

Selama dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 memengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga muncul pertanyaan apakah pandemi ini akan berakhir. Sejak beberapa bulan lalu, pemerintah Singapura telah mempersiapkan skenario baru yaitu memperlakukan Covid-19 sebagai endemi dengan mengejar target vaksinasi di atas 80%, di mana saat ini 83% warga Singapura telah tervaksinasi. Pada akhir Desember 2021 lalu, dengan menurunnya kasus infeksi baru di Indonesia dan sedikitnya penderita yang perlu dirawat di rumah sakit, sejumlah pihak mengatakan bahwa Indonesia telah siap masuk ke tahap endemi.

 

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan, “Sejauh ini, Indonesia telah mengalami dua gelombang dalam perkembangan kasus Covid-19. Melihat pemetaan secara global, terdapat banyak negara yang sudah mencapai gelombang keempat Covid-19, di mana jumlah kasus positif pada gelombang ini dapat mencapai tiga sampai enam kali lipat jika dibandingkan dengan tiga gelombang sebelumnya. Tentunya Indonesia pun tak luput dari peningkatan ini, melihat sifat virus Covid-19 yang tidak mengenal batas wilayah. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah mempersiapkan enam pilar transformasi untuk menangani Covid-19, yaitu transformasi layanan dasar kesehatan, transformasi sektor kesehatan, transformasi sistem kesehatan, pendanaan, transformasi sumber daya manusia, serta teknologi kesehatan.”

 

Sesditjen Kesehatan Masyarakat dan Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi percaya bahwa penanganan Covid-19 memerlukan upaya dari hulu ke hilir. Apabila deteksi dini, edukasi bagi masyarakat, serta langkah-langkah pencegahan merupakan strategi yang dilakukan di hulu untuk pengendalian transmisi, maka transformasi layanan kesehatan yang disiapkan Kementerian Kesehatan tersebut diperlukan untuk penanganan kasus di hilir, ketika seseorang telah dinyatakan positif Covid-19. Sehingga diharapkan dengan adanya transformasi ini, fasilitas-fasilitas kesehatan di Indonesia dapat lebih siap menanggapi kasus dan telah dilengkapi dengan sumber daya yang mumpuni.

 

Siti Nadia Tarmizi menjelaskan bahwa jika dibandingkan dengan gelombang kasus varian Delta pada pertengahan 2021, di mana puncak kasus positif mencapai angka 56.000, saat ini pemerintah melihat adanya tren peningkatan jumlah kasus dengan varian Omicron yang sudah menyentuh angka 64.700 pada pertengahan Februari 2022. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Akan tetapi, pemerintah terus memantau tren dan pola tersebut serta optimis dapat menekan transmisi varian Omicron.

 

“Tentunya kita harus bersiap-siap dan waspada akan datangnya gelombang ketiga setelah melihat pola peningkatan kasus positif Covid-19 saat ini. Setelah menghadapi gelombang pertama dan kedua, serta dengan melihat perkembangan dan langkah yang diambil oleh negara lain, kita semakin memahami pola transmisi Covid-19 khususnya saat ini varian Omicron. Jika pada gelombang kedua, tingkat kematian per hari dapat mencapai 2.500, pada varian Omicron kali ini, tingkat kematian jauh lebih rendah dengan angka 180. Dilihat dari sisi keterisian perawatan rumah sakit (Bed Occupancy Rate atau BOR), pada gelombang varian Delta secara nasional mencapai lebih dari 60%, saat ini tingkat keterisian perawatan rumah sakit nasional berada pada 30%. Sehingga dalam segi penanganan, belum perlu dilaksanakan “penarikan rem darurat”, tetapi pemerintah tetap memberlakukan pembatasan mobilitas dan PPKM level tiga, dibarengi dengan percepatan vaksinasi, testing, dan tracing,” ungkap Siti Nadia Tarmizi.

Menurut pakar mikrobiologi Universitas Indonesia Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D, varian Omicron yang mulai tersebar pada November 2021 tidak memiliki relasi dengan varian Delta yang muncul pada gelombang kedua, namun varian tersebut memiliki jumlah mutasi yang lebih banyak dibandingkan dengan virus-virus sebelumnya sehingga Omicron dapat beradaptasi dengan lingkungan yang menyebabkan penularan terjadi lebih cepat. Kendati demikian, tidak seluruh mutasi dapat menguntungkan virus. Pada kasus Omicron, justru dengan adanya mutasi tersebut, varian ini tidak menimbulkan morbiditas atau gejala klinis yang berat.

 

“Pada dasarnya, risiko infeksi memiliki rumus, yaitu keganasan virus dikalikan dengan dosis virus, kemudian dibagi dengan kekebalan. Kekebalan tersebut terbentuk dari vaksinasi maupun infeksi alami ketika seseorang terpapar virus. Berdasarkan atas studi yang dilakukan oleh FKM UI, Kementerian Kesehatan, dan LBM Eijkman, lebih dari 70% populasi masyarakat Indonesia telah memiliki antibodi, walaupun belum pernah dinyatakan positif Covid-19 maupun tervaksinasi, dan 90% dari populasi yang telah terkena Covid-19 dan tervaksinasi telah memiliki antibodi tersebut. Maka, hal ini menunjukkan bahwa kekebalan terhadap virus telah terbentuk dalam masyarakat Indonesia,” tambah Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D.

 

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dan Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, “Virus Covid-19 akan selalu ada dengan kemungkinan akan bermutasi ke varian-varian lain di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu untuk tetap kita waspadai. Walaupun jumlah kematian akibat Omicron lebih rendah dari varian Delta dan gejala yang ditimbulkan tidak separah gelombang-gelombang sebelumnya, namun korban jiwa tetap ada. Mengingat setiap nyawa masyarakat Indonesia berharga, maka diperlukan upaya maksimal dari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adaptif terhadap keadaan dengan mempertimbangkan saran-saran para ahli sehingga dapat mengatur laju penularan.”

 

Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D memaparkan bahwa dengan berkaca dari negara-negara lain, prediksi puncak kasus Covid-19, khususnya varian Omicron, muncul dalam dua sampai tiga bulan sejak kasus pertama terdeteksi. Sehingga, diharapkan pola yang sama juga terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu memantau pergerakan masyarakat, terutama menjelang bulan Ramadhan dan lebaran untuk mengurangi kerumunan. Apabila hal tersebut berhasil dijalankan bersama upaya-upaya lainnya, maka diperkirakan bahwa Indonesia akan mencapai puncak kasus Covid-19 pada Maret 2022.

 

Siti Nadia Tarmizi berpandangan bahwa transisi dari fase pandemi menuju endemi bukanlah keputusan sepihak, melainkan membutuhkan pemberitahuan secara resmi dari WHO. Oleh karena itu, saat ini yang dapat dilakukan adalah mengadakan kebijakan-kebijakan yang menyeimbangkan kepentingan kesehatan dan juga kepentingan ekonomi, sehingga Indonesia dapat tetap bertumbuh secara finansial.

 

“Dalam memasuki masa pemulihan di tengah-tengah new normal, membutuhkan kerja sama dari banyak pihak. Pemerintah dan Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk mempercepat dan memperluas jangkauan program vaksinasi serta mempertahankan 3T (Testing, Tracing, dan Treatment). Kami mengharapkan kontribusi masyarakat dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan 5M yaitu Menjaga jarak, Mencuci tangan, Memakai masker, Membatasi mobilitas, serta Menjauhi kerumunan. Hal ini perlu dilakukan dalam varian Covid-19 apapun. Kami optimis bahwa dengan adanya kolaborasi ini, Indonesia dapat kembali bangkit,” tutup Budi Gunadi Sadikin.

 

Asian Insights Conference merupakan konferensi tahunan Bank DBS Indonesia yang menyatukan para pemimpin dengan pemikiran global untuk membahas peluang dan tantangan perubahan di Indonesia, terutama dalam masa pemulihan dan fase new normal di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, para pelaku bisnis, investor, serta masyarakat luas memiliki gambaran tentang penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah serta kondisi ekonomi Indonesia dan dunia. Konferensi ini diharapkan dapat mengubah kekhawatiran dan keraguan menjadi aksi serta keputusan strategis terkait arah bisnis di masa depan.

 

Informasi seputar Asian Insights Conference 2022 dapat dilihat di Instagram: @dbsbankid dan di sini. (red Irwan)



Posting Terkait

Jangan Lewatkan