E-Voting Berbasis Blockchain: Pemilu Hemat 90 Triliun Yang Zonder Pelanggaran & Kematian Para Petugas KPPS

MEDIAPATRIOT.CO.ID – Oleh Dr. Ing. Ridho Rahmadi, M.Sc, Ketua Umum Partai Ummat, 31 Mei 2022.

Pemilu Bukan Sekedar Menang-Kalah

Pemilihan Umum (Pemilu) bukanlah sekedar kontestasi politik yang berujung perolehan suara atau menang-kalah. Makna pemilu lebih besar dan luhur dari pada itu. Pemilu adalah suatu mekanisme demokrasi untuk membentuk kepemimpinan nasional, pemerintahan, dan wakil rakyat. Artinya, Pemilu merupakan bagian integral dari upaya kita di dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan, Pancasila, dan UUD 1945.

Pemilu kita menjadikan asas Jujur, Adil, Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia sebagai petunjuk arah di dalam penyelenggaraan. Ketika garis marka asas-asas tersebut sengaja dilanggar, maka Pemilu akan menjadi curang dan sarat pelanggaran. Pemilu yang demikian, adalah bencana, yang akan menimbulkan bencana-bencana multidimensional lainnya

(politik, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan) di kemudian hari.

Agar terlaksana dengan baik, asas-asas tersebut mensyaratkan dua hal: kesiapan manusianya dan juga ketepatan mekanisme penyelenggaraannya. Dalam hal ini, kesiapan manusia dapat dicapai dengan edukasi, sedangkan ketepatan mekanisme penyelenggaraan Pemilu dapat dicari dengan mengkaji berbagai alternatif dan memilih yang paling representatif. Pertanyaannya sekarang, apakah Pemilu kita sejauh ini sudah sukses berasaskan yang enam tersebut?

Supaya tidak terlalu jauh dulu, mari kita tilik Pemilu terakhir di 2019. Dari laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 4 November 2019,[1] ada belasan ribu pelanggaran Pemilu yang dilaporkan, baik yang sifatnya administratif, etik, pidana, dan pelanggaran lainnya. Melihat fakta ini, asas-asas Pemilu yang enam tersebut nampaknya masih jauh panggang dari api.

Jika kita kembalikan ke dalam syarat sukses asas-asas Pemilu di atas, sebuah Pemilu bisa gagal karena manusianya yang belum siap, atau karena mekanismenya yang tidak tepat, atau lebih celaka lagi karena kedua-duanya. Khusus terkait yang kedua, selain masalah pelanggaran, mekanisme Pemilu sejauh ini mau tidak mau membutuhkan ongkos yang tinggi, baik itu ongkos dalam arti kebutuhan tenaga manusia, juga ongkos dalam arti biaya yang dikeluarkan. Pada Pemilu 2019, ada sekitar 18 juta orang yang terlibat di dalam pelaksanaan Pemilu. Jumlah ini termasuk personel Komisi Penyelenggaraan Umum (KPU) sebagai penyelenggara, Bawaslu sebagai pengawas, TNI-Polri sebagai pengaman, dan perwakilan partai politik sebagai saksi. Biaya Pemilu yang dikeluarkan pada Pemilu 2019 adalah sekitar 30 triliun rupiah, dan untuk Pemilu 2024, anggaran yang diajukan mencapai 110 triliun rupiah. Dalam tulisan ini, saya akan lebih fokus pada mekanisme penyelenggaran Pemilu.

Mekanisme Pemilu dan Konsekuensi Logis

Sejauh ini Pemilu di Indonesia diselenggarakan dengan cara membuka Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia. Lihat Gambar 1 bagian bawah. Pada hari Pemilu, orang-orang diminta untuk hadir ke TPS untuk memberikan suaranya dengan cara mencoblos surat suara. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang ada di setiap TPS kemudian menghitung suara dan mengirimkan rekapitulasi suara beserta kotak-kotak berisi surat suara ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kantor desa, untuk transit sambil menunggu semua kotak suara masuk dari seluruh TPS yang ada di suatu desa. Selanjutnya kotak suara akan dikirim ke Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) di kantor kecamatan. Setelah genap kotak suara dan selesai rekapitulasi suara dari seluruh desa yang berada di suatu kecamatan, kotak-kotak suara tersebut akan dikirim ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Daerah. Dengan pola yang sama, pengiriman kotak-kotak suara dan rekapitulasi suara akan dilakukan hingga ke jenjang berikutnya, yakni KPU Provinsi dan KPU Pusat, sebelum akhirnya dilakukan rekapitulasi nasional. Secara kesatuan, proses ini dapat memakan waktu hingga 1 bulan lebih lamanya.[2] Menurut beberapa sumber, proses perjalanan rekapitulasi suara dan kotak suara di antara TPS dan PPK merupakan tahapan yang sangat rentan terhadap praktek kecurangan dan sangat memakan waktu. Bayangkan, ada sekitar 4 juta kotak suara yang tersebar di 800 ribu lebih TPS, yang kemudian transit di 83 ribu kantor desa dan 7 ribu kantor kecamatan.

Dari alur di atas, dapat kita lihat di mana titik-titik rentan kecurangan dan ketidakefektifan sistem Pemilu tradisional, dan betapa sulit cara pengawasannya. Dari Laporan Bawaslu pada Pemilu 2019, ada 16.134 pelanggaran administrasi, 374 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1475 pelanggaran hukum lainnya, yang dilaporkan. Ini yang sempat dilaporkan. Saya khawatir, ini adalah fenomena gunung es. Di sisi lain, kebutuhan tenaga manusia yang banyak menjadi konsekuensi logis. Total ada sekitar 6 juta orang yang bertugas dalam penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu 2019, 32 ribu[3] personel TNI-Polri yang terlibat di dalam pengamanan dan sekitar 12 juta[4] orang perwakilan partai politik sebagai saksi. Selain itu proses penghitungan suara sangatlah melelahkan. Tercatat ada

894 petugas KPPS yang meninggal dunia, dan 5.175 di antaranya jatuh sakit.[5]

 

Gambar 1. Panel atas mengilustrasikan sistem e-Voting berbasis blockchain, sedangkan panel bawah mengilustrasikan sistem Pemilu tradisional.

 

Implikasi Biaya Tinggi

Selain masalah pelanggaran, banyaknya petugas yang dibutuhkan, lamanya proses penghitungan berjenjang, dan yang meninggal karena kelelahan, mekanisme Pemilu sebagaimana dijelaskan di atas berimplikasi terhadap kebutuhan biaya yang sangat tinggi. Mari kita bedah proyeksi anggaran Pemilu 2024.

Dari 110 triliun[6] rupiah anggaran Pemilu 2024, 76.6 triliun rupiah dialokasikan untuk KPU. Sebesar 54.9% atau 42.08 triliun rupiah diantaranya akan digunakan untuk membayar honor badan ad hoc. Pada Pemilu 2019, badan ad hoc terdiri dari 7.201 PPK, 83.404 PPS, 809.500 KPPS, 130 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan 783 Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Setiap PPK dan PPS beranggotakan 3 orang, setiap KPPS beranggotakan 7 orang, dan masing-masing PPLN dan KPPSLN beranggotakan 3 hingga tujuh orang.

Jika kita simulasikan, maka paling sedikit ada 5.941.054 orang dan paling banyak ada 5.944.706 orang yang masuk di badan ad hoc KPU. Tak heran jika setengah lebih anggaran

KPU dipergunakan untuk honor badan tersebut. Jumlah ini belum termasuk jumlah pegawai KPU yang lebih dari 14.000 orang.

Kemudian 21.97% anggaran KPU 2024 atau sebesar 16.84 triliun rupiah akan digunakan untuk kebutuhan surat suara, formulir, tinta, sampul, kelengkapan TPS, dan lain sebagainya. Pemilu 2019 membutuhkan 4 juta lebih kotak suara, 75 juta lebih keping segel, 51 juta lebih lembar sampul, 990 juta lebih lembar surat suara, 1.6 juta lebih alat bantu tuna netra, 2.1 juta lebih bilik suara, 1.6 juta lebih botol tinta, 62.2 juta lebih keping hologram, 561 juta lebih lembar formulir, 3.9 juta lebih lembar daftar pasangan calon dan daftar calon tetap.

Selanjutnya 1.02% atau sebesar 781.89 miliar rupiah untuk pemutakhiran data pemilih; 1.68% atau sebesar 1.29 triliun rupiah untuk pencalonan; 1.6% atau sebesar 1.23 triliun rupiah untuk sosialisasi. Yang terakhir, 18.83% atau sebesar 14.43 triliun rupiah akan digunakan untuk kebutuhan pendukung seperti pembangunan atau renovasi kantor, gedung arsip, pengadaan kendaraan, gaji pegawai KPU, belanja operasional kantor, dukungan IT, dan seleksi komisioner.

Alokasi anggaran untuk Bawaslu adalah 33 triliun rupiah. Secara umum, dapat kita perkirakan, penggunaan anggaran oleh Bawaslu akan lebih banyak dalam hal pengawasan, yang berarti tidak jauh dari kebutuhan sumber daya manusia, kegiatan, dan infrastruktur pendukung. Paling tidak ada sekitar 834.080 pegawai Bawaslu, termasuk yang tetap dan yang ad hoc. Dari Pemilu 2019, dari total anggaran Bawaslu yang berjumlah 8 triliun rupiah, 964 miliar lebih diantaranya digunakan untuk belanja pegawai, seperti gaji. Kemudian 7.6 triliun rupiah lebih digunakan untuk belanja barang, seperti biaya perjalanan, dan 141 miliar lebih untuk belanja modal seperti renovasi bangunan.

Gambar 2. Grafik perbandingan anggaran Pemilu di Indonesia dari tahun 2004 hingga rencana 2024.

Sebagai perbandingan, anggaran penyelenggaraan Pemilu 2004, 2009, 2014 hingga 2019 berturut-turut adalah, 4.4 triliun, 8.5 triliun, 15.6 triliun, dan 25.6 triliun. Dengan demikian, anggaran Pemilu 2024 adalah 19 kali lipat dari 2004, dan 3 kali lipat dari 2019. Perhatikan Gambar 2.

Paradoks Cita-Cita dan Realita

Indonesia adalah negara yang besar, baik secara wilayah maupun secara populasi. Ada sekitar 17000 pulau dan 190 juta lebih pemilih. Mekanisme pelaksanaan Pemilu sebagaimana dijelaskan di atas sekali lagi tentu membawa konsekuensi logis seperti banyaknya pelanggaran, kebutuhan sumber daya yang banyak, dan biaya yang sangat tinggi.

Pemilu yang berasaskan enam tersebut adalah cita-cita bersama, karena melalui Pemilu kita bermimpi untuk menegakkan pilar-pilar keadilan politik, keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan pendidikan, keadilan hukum, dan keadilan-keadilan yang lainnya. Pemilu 2024 adalah harapan kita untuk menuju kesana.

Namun jika mekanisme yang dipakai masihlah rapuh terhadap kecurangan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, maka selamanya cita-cita bersama tersebut akan menjadi mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Karena sekali lagi, Pemilu yang melanggar batas marka enam asas tersebut, adalah Pemilu bencana yang membawa bencana-bencana lain di kemudian hari. Bayangkan, jika Presiden dan Wakil Presiden, kepala-kepala daerah, dan wakil-wakil rakyat yang terpilih adalah produk Pemilu yang sarat kecurangan, bagaimana masa depan negeri ini selanjutnya? Pemerintahan, undang-undang, peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan kemungkinan besar juga akan mewarisi materi genetik kecurangan. Negara ini akan kacau balau. Kita harus benahi bersama mekanisme yang ada sekarang. Secepat mungkin.

Khususnya dalam hal anggaran yang diproyeksikan mencapai 110 triliun rupiah, rasanya, di saat yang bersamaan, kita telah mencederai cita-cita keadilan yang ingin dibangun lewat Pemilu itu sendiri. Ingat, ada 126.5 juta penduduk Indonesia yang secara usia, sudah bisa masuk ke perguruan tinggi. Namun, 90% diantaranya–artinya hampir semuanya, tidak dapat melanjutkan kuliah karena terkendala ekonomi. Ini adalah krisis pendidikan tinggi.

Per September 2021, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 26.5 juta orang. Yang dimaksud penduduk miskin di sini adalah, orang yang hidup setiap bulannya dengan keseluruhan pengeluaran di bawah garis kemiskinan sebesar 487.000 rupiah. Bayangkan, tidak sampai 500 ribu rupiah untuk semua pengeluaran mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, dan lain-lain. Apakah ini perikemanusiaan yang dimaksud pada alinea pertama UUD 1945?

Data dari BPS per Agustus 2021 yang lalu, rata-rata penghasilan penduduk Indonesia ada di kisaran 1 hingga 2 juta, bergantung dari usia hingga jenis pekerjaan. Jurang ekonomi antara si kaya dan si miskin di Indonesia juga masih menganga dalam dan lebar. Rasio Gini kita per September 2021 yang lalu ada di 0.38. Secara teori, Rasio Gini di sekitaran 0.4 hingga 0.5 mengindikasikan jurang lebar ketimpangan ekonomi. Dan lihatlah, orang kaya Indonesia yang sebesar 1%, menguasai 50% aset nasional. Yang artinya 99% orang Indonesia berebut sisanya. Apakah ini perikeadilan yang dimaksud pada alinea pertama UUD 1945?

Rasanya anggaran 110 triliun rupiah untuk Pemilu 2024 adalah paradoks dan kepincangan cara berpikir serta nir-empati, mengingat 90% anak muda kita masih belum kuliah karena tak mampu, 26.5 juta saudara kita masih hidup setiap bulannya dengan uang tak sampai

487.000 ribu rupiah, dan 99% orang Indonesia berebut sisa aset nasional.

Berpikir Alternatif dan Inovatif

Kita harus berani berpikir inovatif untuk mencari alternatif mekanisme Pemilu yang menjadi solusi terhadap banyaknya masalah pelanggaran, tidak efektifnya kebutuhan sumber daya manusia, dan juga tingginya biaya. Singkat kata, mekanisme Pemilu yang mewujudkan asas yang enam tersebut.

Sebagai seorang akademisi dengan latar belakang Teknologi Informasi (TI), saya ingin mengusulkan penggunaan e-Voting berbasis blockchain sebagai sebuah alternatif. Secara umum, e-Voting adalah pemungutan suara dengan menggunakan perangkat elektronik seperti komputer, yang biasanya terhubung ke jaringan internet. Berbagai negara telah menerapkan e-Voting, dan Estonia adalah salah satu pionirnya.[7] Secara spesifik, yang saya maksud di sini adalah pemungutan suara dengan cukup menggunakan aplikasi yang diinstal di smartphone atau ponsel cerdas yang dimiliki oleh masing-masing pemilih.

Blockchain sendiri adalah sebuah konsep dimana setiap data baru yang akan dimasukkan ke dalam sistem harus divalidasi secara konsorsium terlebih dahulu. Data yang tervalidasi kemudian dimasukkan ke dalam rantai blok data (sehingga disebut blockchain), yang terintegrasi dengan kriptografi. Seluruh blok-blok data disimpan di pusat-pusat data yang banyak dan saling terhubung. Sifat blockchain yang immutable atau append-only memastikan hanya penambahan data yang dimungkinkan. Kemudian, setiap upaya perubahan data di suatu blok data harus divalidasi ulang oleh semua blok data yang lain di setiap pusat-pusat data. Kedua hal tersebut yang membuat sistem berbasis blockchain sangatlah aman dan hampir mustahil dibobol, berbeda dengan sistem tradisional IT yang hanya menggunakan satu pusat data yang jika pusat data tersebut dibobol oleh hacker, maka tamat riwayatnya.

Untuk memahami ide e-Voting berbasis blockchain ini dengan lebih jelas, saya akan mencoba menjelaskan dengan cara membandingkan gagasan e-Voting yang dimaksud dengan proses pemungutan suara tradisional dimana kita mendatangi TPS. Perhatikan Gambar 1. Bagian atas Gambar 1 tersebut mengilustrasikan sistem e-Voting berbasis blockchain, sedangkan bagian bawah mengilustrasikan sistem tradisional sebagaimana yang kita terapkan sejauh ini.

Pada cara tradisional, pemilih harus datang ke TPS, dan menggunakan hak suaranya pada bilik suara dengan cara mencoblos surat suara. Dengan e-Voting, pemilih cukup berada di suatu tempat yang terjangkau internet, seperti rumah atau kantor, dan menggunakan hak suaranya dengan memilih calon melalui sebuah aplikasi. Untuk masuk ke dalam aplikasi tersebut, pemilih harus melakukan validasi identitas dengan teknologi biometrik, semisal pengenalan wajah.

Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada cara tradisional proses rekapitulasi suara dan pengiriman kotak-kotak suara dilakukan secara berjenjang mulai dari TPS, kantor desa, kantor kecamatan, KPU Daerah, KPU Provinsi, hingga KPU Pusat. Secara total, proses tersebut dapat memakan waktu hingga 1 bulan sebelum sampai tahap rekapitulasi nasional.

Sedangkan dengan e-Voting, rekapitulasi suara dapat langsung dilakukan secara paralel (real time) dan akumulatif bersamaan dengan data suara yang masuk. Artinya secara teori, jika tidak ada masalah teknis pada jalur komunikasi antara ponsel cerdas dengan infrastruktur sistem e-Voting, seperti jaringan internet dan listrik, maka rekapitulasi suara akan selesai pada hari yang sama dengan hari Pemilu. Sebagai bentuk kehati-hatian, sebelum diumumkan hasil rekapitulasi nasional, kita bisa tambahkan beberapa hari untuk audit sistem guna memastikan setiap tahapan di dalam sistem e-Voting berbasis blockchain ini telah dilakukan dengan benar. Dengan skenario seperti ini, satu minggu adalah waktu yang rasional untuk menyelesaikan seluruh proses e-Voting tersebut.

Pada cara tradisional, satu suara dianggap sah ketika panitia menyatakan keabsahan surat suara tersebut. Kemudian, basis rekapitulasi suara adalah surat suara dan/atau dokumen rekapitulasi dari jenjang sebelumnya. Proses berjenjang seperti ini sangatlah melelahkan dan rentan terhadap kecurangan, karena pada tiap jenjang ada kemungkinan kotak suara dibuka dan diganti isinya atau dokumen rekapitulasi diganti isinya.

Pada sistem e-Voting berbasis blockchain, setiap data suara yang masuk dari aplikasi, akan divalidasi terlebih dahulu dengan metode konsorsium otoritas. Metode validasi ini mengharuskan semua pihak yang punya otoritas, seperti KPU, Bawaslu, dan pihak lainnya yang ditunjuk, menyetujui bahwa suara yang masuk tersebut adalah sah sesuai aturan. Proses ini dilakukan secara digital dan hibrid menggabungkan perangkat lunak yang mengotomasi proses dan verifikasi manual–namun tetap digital–dari pihak yang diberi otoritas. Basis penghitungan suara adalah data suara yang masuk, dan dilakukan secara otomatis dengan perangkat lunak yang didesain khusus untuk ini. Lebih detail tentang e-Voting berbasis blockchain akan dijelaskan pada bagian selanjutnya dari artikel ini. Kalau kita bandingkan dengan cara tradisional, maka proses pada sistem e-Voting berbasis blockchain ini hampir-hampir tidak melelahkan dan insya Allah sangat aman.

Secara umum dapat kita lihat, baik dari aspek keamanan maupun keefektifan waktu, sistem e-Voting berbasis blockchain jelas lebih aman dan lebih efektif secara waktu. Tidak ada lagi cerita, kertas dan kotak suara yang diganti di suatu tempat, karena semua proses dilakukan secara digital. Insya Allah juga tidak ada lagi berita petugas yang kelelahan hingga meninggal dunia, karena proses perhitungan dikomputerisasi sedemikian rupa sehingga cepat dan tidak membutuhkan banyak tenaga manusia untuk menghitung secara manual. Kemudian, waktu yang dibutuhkan secara keseluruhan untuk rekapitulasi nasional menjadi hanya 1 minggu, dari 1 bulan jika dilakukan dengan cara tradisional.

e-Voting Berbasis Blockchain Hemat 90 Triliun Rupiah

Selain aspek keamanan dan keefektifan, e-Voting berbasis blockchain dapat menghemat biaya dengan sangat signifikan. Dari uraian di atas, kita tahu bahwa penyebab tingginya biaya Pemilu kita adalah kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pelaksanaan dan pengawasan Pemilu. Selain itu kebutuhan material untuk pemungutan suara juga menjadi penyebab lain tingginya biaya. Ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan partai untuk saksi, yang diperkirakan mencapai 2.5 hingga 5 triliun rupiah.[8]

Dengan menggunakan sistem e-Voting berbasis blockchain, kebutuhan badan adhoc dan material pemungutan suara menjadi tidak ada lagi, sehingga anggaran 42.08 triliun rupiah untuk honor badan ad hoc KPU dan 16.84 triliun rupiah untuk material bisa dialihkan. Selanjutnya, dari 14.43 triliun rupiah untuk pembangunan atau renovasi gedung, dapat dikurangi paling tidak 4 triliun rupiah, karena kebutuhan gedung arsip menjadi tidak terlalu relevan lagi, mengingat sistem dengan sistem e-Voting semuanya menjadi digital. Dari proyeksi saya, kegiatan Bawaslu yang terpusat pada pengawasan secara manual dengan tenaga manusia dapat berkurang hingga 80%, sehingga sekitar 26 triliun rupiah dapat dialihkan. Jika ditotal, paling tidak ada sekitar 88 triliun rupiah anggaran yang dapat dialihkan untuk yang lebih prioritas, seperti pendidikan tinggi, kemiskinan, kesehatan, dan lain sebagainya. Jika ditambah dengan perkiraan dana saksi dari partai politik yang sekitar 5 triliun rupiah, maka Pemilu dengan e-Voting berbasis blockchain dapat menghemat paling tidak 90.5 triliun rupiah.

Seandainya kita gunakan 88 triliun rupiah untuk memperbaiki krisis pendidikan tinggi di Indonesia, kira-kira seperti ini sebuah alternatif proyeksinya. Anggap saja untuk membangun satu kampus dibutuhkan biaya 100 milyar rupiah dan untuk mengkuliahkan satu mahasiswa S1 dari awal hingga akhir dibutuhkan biaya 100 juta rupiah. Seumpama dari 88 triliun rupiah tersebut, kita alokasikan setengahnya, yaitu 44 triliun rupiah, untuk membangun kampus, maka kira-kira kita dapat membangun 440 kampus baru di Indonesia. Jika kampus-kampus baru tersebut kita bangun di provinsi-provinsi di luar pulau Jawa–karena pulau Jawa relatif sudah punya banyak kampus, maka setiap provinsi-provinsi tersebut akan memiliki 15 kampus baru. Tentu saja kampus-kampus baru tersebut juga akan membuka lapangan pekerjaan baru. Jika satu kampus mempekerjakan paling tidak 500 staf saja, maka akan ada 220.000 lapangan pekerjaan baru. Selanjutnya dengan 44 triliun rupiah sisanya, kita dapat memberi beasiswa penuh kepada 440.000 mahasiswa baru S1.

Selain pertimbangan biaya, isu terkait lingkungan sebagai berikut juga perlu menjadi perhatian. Mekanisme Pemilu tradisional sebagaimana dijelaskan di atas, membutuhkan banyak sekali kertas, yang kita tahu diproduksi dari pohon. Jika satu pohon dapat memberikan kita sekitar 8000 lembar kertas, maka untuk memenuhi kebutuhan kertas Pemilu tradisional dibutuhkan paling tidak 189.487 pohon. Belum lagi limbah cair dan padat yang dihasilkan dari produksi kertas tersebut. Pengolahan limbah ini berpotensi merusak lingkungan jika tidak dikelola dengan standar yang baik.

Jelas, dari berbagai aspek penting, khususnya dalam hal biaya, Pemilu dengan sistem e-Voting akan jauh lebih menghemat anggaran hingga minimal 80% dari anggaran Pemilu 2024. Dengan pengalokasian dana sebesar 88 triliun rupiah untuk masalah yang lebih prioritas seperti pendidikan, kita dapat bersama menegakkan keadilan di bumi pertiwi ini, sembari melaksanakan Pemilu yang insya Allah lebih aman dan efisien, yang awal cita-citanya juga tentang Indonesia yang berkeadilan multidimensional.

Lalu berapa estimasi biaya yang dibutuhkan untuk membangun sistem e-Voting berbasis blockchain? Sebagai hitungan kasar, jika kita membangun dua pusat data di masing-masing provinsi, maka kita memerlukan 68 pusat data. Kita asumsikan setiap pusat data membutuhkan infrastruktur server, koneksi internet, genset, dan lain sebagainya. Dengan proyeksi batas maksimal biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu pusat data adalah 500 juta rupiah, maka kita membutuhkan 34 miliar rupiah untuk infrastruktur e-Voting berbasis blockchain. Jika ditambah dengan kebutuhan lain seperti perangkat lunak, insya Allah 40 miliar rupiah akan menjadi angka yang cukup rasional. Dan perlu diingat, estimasi ini adalah estimasi batas atas atau batas maksimal yang tentu realisasinya kita harapkan bisa di bawah batas tersebut. Angka 40 miliar relatif masih masuk akal, terlebih kita dapat gunakan infrastruktur tersebut untuk Pemilu selanjutnya atau bahkan untuk kepentingan nasional yang lainnya.

Lebih Jauh Tentang e-Voting Berbasis Blockchain

Yang membuat konsep blockchain lebih aman dan hampir mustahil untuk dibobol jika dibandingkan dengan sistem TI tradisional adalah sebagai berikut. Pertama, sifat sistem TI tradisional secara umum adalah sistem “kotak hitam” (perhatikan Gambar 3). Diistilahkan sebagai “kotak hitam”, karena pengguna sistem tidak tahu persis bagaimana proses yang dilalui masukan, dalam hal ini adalah data suara, hingga menjadi keluaran, dan dalam hal ini adalah rekapitulasi suara. Proses di tengah-tengah yang tidak sepenuhnya transparan ini, dapat membuat kita kesulitan untuk memastikan bahwa data suara yang masuk hingga kemudian direkapitulasi, adalah data yang valid.

Gambar 3: Ilustrasi sistem Pemilu tradisional yang menggunakan konsep “kotak hitam”. Dan Gambar 4. Ilustrasi lebih detail tentang sistem e-Voting berbasis blockchain. Proses validasi data dilakukan dengan metode konsorsium otoritas. Data yang tervalidasi akan dimasukkan ke dalam blok data baru, dari rantai blok yang sudah ada.

Kedua, sistem tradisional seperti ini biasanya menggunakan satu pusat data atau tersentralisasi, yang berfungsi sebagai penyedia layanan sekaligus penyimpanan data. Jika terjadi upaya hacking atau pembobolan pada satu pusat data tersebut, maka data yang ada dapat diubah atau bahkan dihilangkan. Hal ini tentu sesuatu yang sangat bahaya jika diterapkan pada sebuah Pemilu.

Sedangkan pada sistem berbasis blockchain, setiap data baru akan divalidasi terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam rantai blok data baru. Perhatikan Gambar 4. Proses validasi data di sini menggunakan metode konsorsium otoritas, mengadopsi konsep Proof-of-Authority (POA). Di dalam metode ini, setiap otoritas yang dilibatkan, seumpama KPU, Bawaslu dan pihak lain yang ditunjuk, akan memvalidasi data suara yang masuk lewat aplikasi.

Gambar 5. Sebuah contoh bagaimana algoritma SHA 256 mengenkripsi kalimat “Indonesia Merdeka!” ke dalam 64 karakter Hex. Dengan metode ini, pesan asli berupa kalimat “Indonesia Merdeka!” tidak dapat dibaca langsung di dalam sistem, dan hanya dapat dibuka dengan suatu metode khusus.

Secara teknis, otoritas di sini adalah salah satu dari pusat-pusat data sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4. Proses validasi dilakukan secara hibrid menggabungkan mekanisme otomatis dan juga pengecekan secara manual–yang tentu tetap dilakukan secara digital. Hanya data suara tervalidasi oleh otoritas yang akan dimasukkan ke dalam blok data baru di dalam blockchain (rantai blok data). Setiap pusat data akan menyimpan rantai blok yang sama. Demikian juga jika terjadi penambahan blok data baru, maka masing-masing pusat data akan melakukan pembaruan yang sama. Ini adalah konsep desentralisasi data, yang merupakan salah satu pembeda utama dari sistem tradisional yang tersentralisasi pada satu pusat data saja.

Lebih jauh lagi, setiap data akan dienkripsi menggunakan algoritma kriptografi SHA-256, yang berfungsi untuk mengubah data ke dalam bentuk lain, yaitu ke dalam semacam deret angka-huruf (hex) sepanjang 64 karakter. Perhatikan Gambar 5. Dengan SHA-256, kita dapat menyembunyikan bentuk data suara yang asli, termasuk detail nama pemilih, suara yang diberikan, dan lain sebagainya, sehingga lebih aman menjaga kerahasiaan, sebagaimana asas Pemilu yang enam tersebut.

Sifat blockchain sendiri adalah append-only, immutable, yang berarti hanya penambahan data yang diizinkan. Dengan demikian histori data akan sangat terjaga dengan baik. Ini sangat relevan dengan kebutuhan Pemilu yang perlu untuk melihat jejak detail setiap data yang masuk.

Upaya untuk mengubah data pada salah satu blok yang ada di blockchain, memerlukan validasi dari konsorsium otoritas di semua pusat-pusat data. Dengan demikian, serangan terhadap sistem berbasis blockchain sangatlah sulit–kalau tidak mustahil, karena jika konsorsium menolak perubahan tersebut, maka otomatis upaya tersebut gagal.

Metode konsorsium otoritas ditambah dengan sifat blockchain yang immutable, dan juga konsep desentralisasi data, memastikan sistem e-Voting berbasis blockchain ini insya Allah sangat aman dan hampir mustahil untuk dibobol.

Mari Kita Lakukan Untuk Negeri Ini

Gagasan di atas adalah sebuah ide awal yang perlu didiskusikan dan dilengkapi bersama. Tentu masih banyak ruang untuk didiskusikan. Sebagai contoh, kita belum membahas tentang jaringan internet di Indonesia jika kita ingin menerapkan e-Voting berbasis blockchain. Kabar baiknya adalah, pemerintah telah mencanangkan program yang menargetkan seluruh desa di Indonesia telah terjangkau sinyal 4G pada 2022.[9] Hal ini semakin memperkuat kemungkinan gagasan e-Voting ini untuk direalisasikan.

Sekalipun begitu, kita perlu tetap perlu membahas alternatif-alternatif solusi untuk wilayah yang merupakan blank spot internet. Masalah lain yang mungkin muncul adalah pemilih yang tidak memiliki ponsel cerdas, sekalipun data menunjukkan 170 juta penduduk Indonesia memiliki ponsel cerdas.[10] Berasumsi usia 170 juta penduduk tersebut masuk ke dalam usia pemilih, maka berdasarkan Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2019 yang berjumlah sekitar 192 juta pemilih, masih ada 22 juta orang pemilih yang ditengarai belum memiliki ponsel cerdas. Sekali lagi ini asumsi mentah.

Sebagai alternatif solusi untuk kedua permasalahan di atas, kita dapat menyiapkan semacam kios keliling yang dilengkapi dengan piranti khusus yang terhubung dengan internet yang kuat dan stabil. Kios keliling tersebut dilengkapi dengan ponsel cerdas atau tablet yang dapat digunakan pemilih untuk menggunakan hak suaranya.

Atau sebagai alternatif solusi yang lainnya adalah dengan menyediakan komputer anjungan untuk memilih. Bentuk komputer anjungan ini mirip seperti mesin ATM dan dapat diletakkan di, seumpama, kantor desa ataupun semacam TPS. Alternatif-alternatif seperti ini dapat menjadi solusi untuk wilayah-wilayah yang diperkirakan blank spot internet dan juga solusi bagi warga yang tidak memiliki ponsel cerdas.

Selanjutnya, tantangan yang lainnya adalah terkait sebagian kelompok masyarakat yang mungkin tidak terbiasa menggunakan perangkat elektronik atau menggunakan platform digital. Ini adalah masalah literasi digital yang biasanya menjadi konsen di kalangan generasi tua Indonesia. Indeks literasi digital di Indonesia masuk dalam kategori sedang, yaitu sebesar 3.49.[11] Sekalipun demikian, kita harus menyiapkan edukasi untuk meningkatkan literasi digital terutama untuk penduduk Indonesia yang berusia 50 tahun ke atas. Edukasi ini dapat dilakukan, seumpama pada tiap Rukun Warga (RW) dan berfokus pada cara menggunakan hak suara melalui e-Voting. Jika edukasi ini dilaksanakan secara sistematik dan masif, insya Allah dapat menjadi solusi dari permasalahan literasi digital ini, dan gagasan e-Voting berbasis blockchain ini dapat dilaksanakan secara menyeluruh.

Partisipasi Pemilu juga diharapkan dapat meningkat dengan penggunaan sistem e-Voting berbasis blockchain ini, karena kemudahan di dalam menggunakan hak pilih yang cukup melalui ponsel cerdas. Dari temuan Bawaslu,[12] ada 5744 TPS rawan karena sulit dijangkau, terkendala cuaca, atau karena isu keamanan. Ada sekitar 34-35 juta orang, atau sekitar 19%, yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Bahkan satu studi menemukan lebih dari 40% milenial Indonesia tidak berpartisipasi pada Pemilu 2019, alias golput.[13] Studi tersebut mengatakan milenial Indonesia relatif apatis, tidak peduli politik dan tidak terinformasi dengan baik terkait Pemilu. Padahal kalau kita lihat proyeksi generasi Z dan generasi milenial Indonesia (17-40 tahun) pada tahun 2024, akan mencapai 60% dari total penduduk Indonesia. Kedua generasi ini lahir atau tumbuh pada era digitalisasi. Tentu penggunaan ponsel cerdas di dalam memilih insya Allah akan meningkatkan partisipasi terutama di kalangan anak muda.

Saya mengajak pihak-pihak yang berkepentingan, terutama DPR, DPD, KPU, Kemendagri, dan lainnya, untuk duduk bersama membahas bersama gagasan e-Voting berbasis blockchain ini. Semua pihak harus membangun kesadaran pentingnya mendudukkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Dengan kesadaran tersebut, maka rasionalitas yang saya sampaikan di atas, insya Allah akan dapat diterima dengan baik. Semua pihak hendaknya melihat gagasan ini sebagai suatu upaya untuk menyelamatkan Pemilu, yang artinya sama dengan menyelamatkan Indonesia dari bencana multidimensional yang disebabkan oleh kepemimpinan nasional, pemerintahan, dan perwakilan rakyat yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa ini, Pancasila, dan UUD 1945.

Akhir kata, saya mengajak semua elemen masyarakat untuk menyebarkan tulisan ini dan melengkapi gagasan yang ada di dalamnya. Secara khusus saya juga mengundang para akademisi, terutama dalam bidang TI, untuk turut memperbaiki dan melengkapi khususnya pada bagian teknis e-Voting dan blockchain. Kajian dari sisi politik, hukum, dan sosial tentu akan sangat memperkaya dan mempertajam gagasan bersama ini. Bersama, untuk negeri ini.

(red Irwan)

[1] https://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/hasil_pengawasan/DATA%20PELANGGARAN%20PEMI

LU%20TAHUN%202019%204%20NOVEMBER%202019-dikompresi.pdf

[2] https://nasional.kompas.com/read/2019/04/18/14405981/begini-alur-waktu-penghitungan-dan-rekapitu lasi-suara-pemilu-2019?page=all

[3] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190520113136-4-73524/pengamanan-22-mei-32-ribu-person el-polri-tni-disiapkan

[4] https://nasional.tempo.co/read/1137971/begini-hitungan-perkiraan-dana-saksi-pemilu-2019-menurut-f ormappi

[5] https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/15460191/refleksi-pemilu-2019-sebanyak-894-petugaskpps-meninggal-dunia

[6] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220309115852-32-768738/rincian-anggaran-pemilu-2024-y ang-belum-dicairkan-pemerintah

[7] https://www.jstor.org/stable/resrep03645.9?seq=1

[8] https://nasional.tempo.co/read/1137971/begini-hitungan-perkiraan-dana-saksi-pemilu-2019-menurut-f ormappi/full&view=ok

[9] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200822135013-185-538108/kominfo-target-sinyal-4g-mas uk-seluruh-desa-pada-2022

[10] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/01/daftar-negara-pengguna-smartphone-terbanya k-indonesia-urutan-berapa#:~:text=Kemudian%2C%20Indonesia%20menempati%20posisi%20keemp at,smartphone%20di%20dunia%20pada%202020.

[11] https://aptika.kominfo.go.id/2022/03/indeks-literasi-digital-indonesia-3-49-ini-yang-bisa-dilakukan-pem erintah/#:~:text=Berdasarkan%20Indeks%20Literasi%20Digital%20Indonesia,berada%20di%20angka %203%2C49.

[12] https://bireuen.bawaslu.go.id/bawaslu-temukan-49-390-tps-rawan-di-30-provinsi/

[13] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190404174723-32-383507/survei-pemilu-milenial-golput-di prediksi-di-atas-40-persen



Posting Terkait

Jangan Lewatkan