Indramayu, MPI.co.id
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP atau RKUHAP) terus bergulir menjadi Pro Kontra. Sejumlah elemen menyampaikan sikap protes agar pembasahan produk hukum itu dihentikan.
Hingga begitu, mengalirnya desakan membuat pemerintah bergeming. Sampai saat ini, baik Istana maupun Senayan enggan membuka draft RKUHAP ke publik.
Alasannya, sebelum dilempar ke publik, RKUHAP harus disempurnakan sehingga menghasilkan produk hukum yang baik. Sikap ‘diam’ Istana dan Senayan ini yang memicu protes dimana-mana.
Hanya saja, sikap protes sejumlah elemen banyak yang mengalamatkan ke Istana. Padahal saat ini pembahasan RKUHAP sudah di gedung parlemen, di Senayan, DPR RI.
“Menyampaikan aspirasi penolakan boleh saja, cuma masalahnya sekarang bola itu ada di DPR RI, nah, bagi kelompok yang meminta revisi atau penolakan misalnya, datangi gedung dewan, bukan Istana,” tukas salah seorang pengamat politik, Junaedi.
Soal alamat demonstrasi menyampaikan aspirasi, imbuh dia, memang seharusnya ke DPR RI. Sebab proses pembuatan UU, termasuk inisiatif eksekutif, pengesahannya tetap oleh parlemen.
“Percuma berteriak di istana, toh yang mengesahkan, bahkan pembahasannya ada di parlemen atau DPR RI. Lagi pula anggota dewan itu kan representasi masyarakat juga, jadi sampaikan saja pertentangan itu kepada mereka (dewan),” tegas dia.
Dalam perkembangan yang sama, pakar hukum asal Kabupaten Indramayu, Dr. Khalimi, S.H.,M.H.,CTA., menyebut pro kontra RKUHAP sebagai dinamika umum.
Keterlibatan mahasiswa sebagai bagian dari anggota masyarakat, kata dia, untuk memberikan saran atau mengkritik pembahasan materi atau proses penyusunan undang-undang, adalah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Konsekuensi dari pengabaian pelibatan masyarakat, imbunya, bisa dilihat dalam dalam putusan Mahkamah Konstitusi MK 91/PUU-XVIII/2020.
Putusan itu menyebutkan apabila tidak terpenuhinya aspek partisipasi masyarakat, suatu undang-undang sebagai cacat formil.
“Banyak elemen jika hukum itu bisa tegak, salah satunya apabila UU tersebut lahir karena living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat yang senantiasa mendengar aspirasi masyarakat dalam proses pembuatannya, di samping syarat lainnya yaitu bagaimana penegak hukumnya, sarananya dan budaya masyarakatny,” tandas dia.(Deswin N)