Perayaan HUT Ke – 38 Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia di Gedung Kemendag

MEDIAPATRIOT.CO.ID – Jakarta, 11 Oktober 2022. drh. Suhandri Sekjen ASPIDI menjelaskan bahwa ASPIDI 30 tahun yang lalu didirikan tanggal 11 Oktober. Jadi fungsinya daripada ASPIDI adalah bagaimana kita menyuplai kebutuhan daging pada pasar tertentu dalam hal ini adalah restoran, hotel, dan catering. Jadi ada pasar yang dibentuk oleh market sendiri. Kemudian ada lagi pasar yang dibentuk oleh UMKM dan industri. Kemudian sejalan dengan waktu perkembangannya bahwa ternyata kita juga berkembang di industri pengolahan daging. Dia juga butuh dengan daging impor, bukan berarti kita sebagai supplier yang lokal tidak. Lokal tetap dibutuhkan karena market dan UMKM tetap dari pasar-pasar sumber lokal.

Kebutuhan daging kita kurang lebih 700 ribu ton, kurang lebih setara dengan 4 juta ekor. Kalau kita lihat dengan populasi sapi kita tidak mungkin kita memotong sebesar itu. Dari impor berapa persen dari 700 ribu ton itu hanya paling sekitar 300 ribu ton. 400 ribu ton disupplai dari lokal. Jadi tidak dikatakan bahwa impor menggantikan. Ini hanya membantu dan mensupport supaya sapi kita tetap jalan juga dan industri tetap berjalan. Apakah berpengaruh terhadap harga daging itu tidak karena daging import sendiri mempunyai pasaran khusus. Dengan teman-teman dari supplier lokal, dari peternak lokal itu masuknya kepada market. Pada saat lebaran misalnya terjadi harga mahal, sebenarnya harga normal biasanya 125 ribu, 130 ribu. Mereka yang tidak biasa beli daging jadinya kaget. Biasanya dia beli 100 ribu lumayan bukan daging biasa itupun harganya seperti itu.

Kita juga punya sumber daya peternak lokal, kita tidak bisa impor sampai mematikan tidak boleh itu terjadi. Lokal tetap berjalan dan berkembang untuk menutupi kebutuhan pada market ini. Karena di market daging segar dan fresh meat. Sedangkan kita yang kita impor adalah daging frozen. Umurnya bisa 2 tahun mereka dari disembelih, kemudian didinginkan dulu, lalu freezing, baru dikirim kemari dan umurnya 2 tahun. Sementara yang kita makan itu langsung dipotong, dimasak, kemudian dimakan. Jadi tidak ada fungsi dari kita yang menggantikan.

Terkait harga ada beberapa yang lebih murah dari import dan ada yang lokal lebih mahal. Tapi tidak semua lokal mahal. Jadi ada beberapa karena ada teman-teman dari negara ekspor itu mengekspor ke kita itu dia motong ribuan. Kemudian ada daging-daging yang tidak dimakan disana dijual ke kita otomatis harganya lebih murah. Sedangkan disini dibutuhkan jadi bisa mahal. Contoh kalau kita lihat yang namanya jeroan itu cuman kita yang makan misalnya usus, babat, diluar negeri tidak dimakan jadi bisa lebih murah. Ada yang lebih mahal ada yang lebih murah. Kalau barang yang mereka makan mahal pastinya.

Mahal dan murahnya itu tergantung daripada makan atau tidak, dipakai atau tidak. Jeroan kemudian jantung itu yang mereka tidak makan. Selama ini kita cuman importir daging, kita ada teman-teman yang namanya gakispindo, gabungan pengusaha lokal merekalah yang bertanggung jawab untuk mengelola peternakan lokal. Apakah ASPIDI membeli dari lokal tentu tidak, karena kami importir daging. Terkait 700 ribu ton ada yang dari lokal, ada yang diimpor. Cara menghitungnya dihitung dari sapi lokal ada berapa kemudian menghasilkan daging berapa. Misalnya dihitung 400 ribu ton berarti sisanya 300 ribu ton diimpor. Kalau 500 ribu ton berarti 200 ribu ton diimpor.

Jadi pemerintah itu menghitung kalkulasi potensi kita, jadi bukan impor bibit baru, lokal dulu dihitung baru impor seperti itu cara berhitungnya. Sebagian besar daging di bazaar ini impor. Awal-awalnya importir, daging diimpor kemudian langsung dijual. Sekarang mereka sudah mulai berkembang dan diolah jadi bakso, sosis, nugget otomatis ini yang eksportir yang menyuplai bakso nugget, sosis sudah bisa diproduksi. Bahan sama-sama dari mentah, jadi daripada kita impor dari negara ekspor seperti bakso, nugget lebih baik kita olah sendiri jadi industri seperti kimbo.” tutupnya.



Posting Terkait

Jangan Lewatkan