MEDIAPATRIOT.CO.ID – Jakarta, 18 November 2022. Etika profesi hakim adalah asas-asas moralita yang mendasari profesi Hakim. Setiap Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni kemampuan dan keterampilan hakim untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan mempertimbangkan putusan berdasarkan nilainilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya.
Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”, disamping sisi etika profesi. Namun bagaimana bila seorang hakim malah berat sebelah dan membela pihak yang sudah jelas salah dan ikut menindas orang yang tak bersalah?
DIRJEN HAM: LAKSANAKAN PUTUSAN EKSEKUSI
Dirjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM RI, Dr. Mualimin Abdi, meminta Kapolda Metro Jaya untuk lakukan evaluasi agar menghentikan Laporan Polisi yang dilakukan PT Elite Prima Hutama (PT EPH), grup pengembang properti Pakuwon Jati Tbk, terhadap salah satu pembeli unit apartemennya, Ike Farida. Kuasa hukum Ike, Putri Mega Citakhayana, S.H., laporkan kasus Ike ke Kemenkumham karena PT EPH sudah terlalu arogan, bahkan nekat melawan putusan pengadilan. Ike yang menang dibuktikan dengan adanya 4 putusan final yang dimilikinya, berupa: Putusan MA RI kasus konsinyasi, Putusan dari Mahkamah Konstitusi, Putusan PK dari MA RI, dan Putusan Perlawanan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Semua putusan tersebut memenangkan Ike dan memerintahkan pengembang untuk serahkan unit milik Ike beserta kunci dan segera melaksanakan AJB. Empat Putusan ini tetap diabaikan PT EPH, pengembang nakal milik Pakuwon Jati Tbk. dan justru melaporkan pembelinya ke Polda Metro Jaya yang kemudian oleh Unit 5 Jatanras Direskrimum, Ike Farida dijadikan Tersangka.
Rekomendasi itu muncul karena telah ada Putusan Jaksel No. 119/Pdt.Bth/2022/PN.Jkt.Sel tanggal 3 Agustus 2022 yang menyatakan bahwa PT EPH ADALAH PELAWAN YANG TIDAK BENAR DAN MENOLAK PERLAWANAN PELAWAN UNTUK SELURUHNYA. Terkait hal ini, Mualimin juga sampaikan bahwa PT EPH sudah seharusnya mematuhi putusan PN Jaksel tersebut. Sayangnya, enigma pelaksanaan putusan eksekusi ini diperparah oleh Ketua PN Jaksel karena perilakunya yang malah seakan-akan membela PT EPH. Ike adalah pihak yang dimenangkan, namun PN Jaksel tidak mengakomodir Ike dalam mendapatkan hak-haknya dengan membiarkan PT EPH tidak segera melaksanakan putusan.
Seharusnya pengadilan segera mengeluarkan Penetapan Eksekusi, tetapi tidak kunjung dilakukan. Ketua PN Jaksel malah terus menunda-nunda dan membuat pelaksanaan ekseksusi ini menjadi semakin lambat, ditambah dengan PT EPH yang juga kabur dari kewajibannya. Pada 1 September 2022, tim kuasa hukum Ike menyerahkan hasil perundingan Penyelesaian di luar pengadilan kepada PN Jaksel yang pada intinya tidak tercapai kesepakatan penyelesaian di luar pengadilan sehingga sita eksekusi dapat kembali dilanjutkan. PN Jaksel malah menolak untuk lakukan Sita Eksekusi karena mempermasalahkan keabsahan Surat Kuasa dari Ike. Padahal terkait keabsahan surat kuasa permohonan sudah diputus oleh majelis hakim pada Putusan Perlawanan No. 119/PDT/2021/PN.Jkt. Sel.
Kenyataannya, Surat Kuasa itu sudah memenuhi syarat sahnya surat kuasa khusus sebagaimana tercantum di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6/1994 tentang Surat Kuasa Khusus. Ike juga sudah menjelaskan bahwa ia memberikan kuasa kepada timnya di Farida Law Office untuk mengajukan permohonan eksekusi. Sudah cukup beralasan jika PN Jaksel diduga melakukan pelanggaran Pasal 4 huruf a dan Pasal 5 Ayat 1 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dengan menunda pelaksanaan Sita Eksekusi tanpa alasan yang konkrit. Dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut bahwa kewajiban seorang hakim adalah berperilaku adil; ia harus dapat memberikan perlakuan dan memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap orang.
Tim kuasa hukum Ike sedang bersiap untuk membuka perkara ini ke kancah organisasi internasional, karena pembeli yang kawin dengan Warga Negara Asing (WNA) akan dikriminalisasi. Tak hanya itu, Ike kecewa dengan PN Jaksel dan Kepolisian yang malah memperlakukan masyarakat yang jujur seakan-akan semut lemah.
Hal ini tentunya mengecewakan Ike, seorang praktisi hukum yang sudah berkecimpung selama lebih dari 20 tahun sebagai seorang pengacara, karena tidak adanya jaminan bahwa putusan pengadilan dapat ditegakkan secara efektif. Sudah mati-matian Ike dan timnya memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan melindungi korban-korban lain dari pengembang nakal supaya apa yang terjadi pada Ike tidak terjadi pada orang lain.
Sudahlah Indonesia dikecewakan oleh Kepolisian yang sedang memiliki banyak nilai merah dalam rapornya, tentu masyarakat juga tidak ingin semakin dibuat pedih oleh institusi peradilan tanah air.
(red Irwan)