Oleh: Denny JA
Impian tertinggi seorang pemimpin adalah menciptakan legacy. Ia meninggalkan warisan, berupa karya atau gagasan atau kebijakan, yang ikut mengubah masyarakatnya, menuju kebaikan, menuju kesejahteraan.
Tentu Jokowi sebagai pemimpin juga memiliki visi itu, ingin meninggalkan warisan berharga. Itulah respon kita membaca pernyataan dari teman-teman PDIP.
Ramai dipercakapkan Hasto Kristoyanto, Sekjen PDIP, membuat pernyataan publik. Bahwa PDIP kini tengah luka karena sedih hati ditinggal oleh Jokowi.
Dalam pilpres 2024 kali ini, Hasto merasa Jokowi lebih mendukung Prabowo Subianto, ketimbang mendukung capres dari partai Jokowi sendiri: Ganjar Pranowo.
Jika pernyataan Hasto benar, pertanyaannya: mengapa? Mengapa Jokowi memilih seperti itu?
Saya kebetulan ikut membahas topik ini ketika memberikan kuliah umum di hari sumpah pemuda 2023. Bersama teman-teman peserta program Marketing Politik, kerja sama tiga lembaga: SBM ITB, Kuncie dan LSI Denny JA, saya ikut mengeksplor isu itu.
Mengapa dalam Pilpres 2024 kali ini, Jokowi terbaca oleh publik lebih mendukung Prabowo ketimbang mendukung capres dari partainya sendiri: Ganjar? Ini kemudian ditafsir oleh Hasto sebagai Jokowi meninggalkan PDIP.
Jawabnya adalah Legacy! Setiap pemimpin, apalagi pemimpin yang ingin punya jejak panjang, memiliki impian untuk menciptakan legacy.
Misalnya, Abraham Lincoln. Ia dikenang karena menghapuskan secara dramatis perbudakan di Amerika Serikat.
Atau misalnya Winston Churchill. Perdana Menteri Inggis ini dikenang karena ia berhasil menyetop serangan Hitler dan fasisme di Eropa. Jika waktu itu Churchill gagal, maka sekarang yang berkuasa di dunia bukan demokrasi, tapi fasisme.
Jika kita ingat Bung Karno misalnya, kita teringat nasionalisme. Perjuangan nasionalisme itu legacy Bung Karno.
Jika kita teringat Bu Hatta, kita teringat Koperasi. Jika teringat Pak Harto, kita terkenang Bapak Pembangunan. Lalu apa legacy Jokowi?
Beberapa kali Jokowi menyatakan impiannya. Ia ingin menuntaskan ibu kota pindah ke Kalimantan. Pindah ibu kota dari Jakarta adalah impian sejak Bung Karno.
Tapi baru di era Jokowi, impian ini dimulai dengan membangun infrastrukturnya.
Jokowi juga memajukan program hilirisasi. Maka produk Indonesia, seperti tambang, jangan lagi diekspor sebagai produk mentah, tapi produk olahan.
Dengan produk olahan, hilirisasi, industri domestik pengolahannya akan berkembang. Tenaga kerja terserap. Nilai produk bertambah.
Ketikan nanti kekuasaan Jokowi selesai di 2024, baik IKN ataupun Hilirisasi baru memasuki tahap awal. Presiden selanjutnya sangat menentukan apakah dua program besar Jokowi itu layu atau mekar.
Jokowi memiliki kriteria sendiri siapakah presiden berikutnya yang bisa meneruskan legacynya. Capres itu tentu tidak hanya berkomitmen dengan program itu, tapi juga punya karakter personal yang ia anggap sebagi kunci.
Ini yang acapkali Jokowi katakan: “Kita rakyat Indonesia butuh pemimpin yang tepat. Kita perlu pemimpin yang benar. Dan pemberani, yang berani, pemberani demi rakyat.”
Berkali- kali, Jokowi mengucapkan karakter penting pemimpin masa depan: pemberani, berani, pemberani!Itu karakter the next president yang Jokowi pilih.
Mengapa karakter pemberani menjadi kunci? Jokowi mengalami sendiri. Ketika ia memperjuangkan hilirisasi, misalnya, ia ditentang oleh Uni Eropa. Jokowi ditentang oleh IMF. Kekuatan internasional mengepungnya.
Mustahil program hilirasi bisa jalan tanpa keberanian seorang presiden Indonesia melawan dunia. Mustahil pula melanjutkan program IKN, tanpa keberanian melawan rintangan yang ada.
Ini tafsir kita mengapa Jokowi meninggalkan PDIP. Sebenarnya kata yang tepat bukan meninggalkan. Untuk kasus Pilpres 2024, Jokowi memiliki pilihan politik yang berbeda karena perbedaan kriteria karakter pemimpin yang diharap.
Jokowi agaknya memiliki penilaian. Bahwa Prabowo lebih bisa mewakili keberanian yang dibutuhkan untuk membawa Indonesia bersaing di dunia.***