Resensi Buku Serat Panji Kuda Narawangsa ( Radjiman )

Penulis : Tri Hartati Ramadhani
(Mahasiswi Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)

A. Isi Buku

Dalam buku ini terdapat cerita Serat Panji Kuda Narawangsa dan Alih Aksara Serat Panji Kuda Narawangsa yang ditulis oleh Radjiman. Naskah carik Jawa Baru dalam bentuk puisi Jawa (Tembang Macapat) dengan judul Serat Panji Kuda Narawangsa ini merupakan adalah salah satu bentuk Serat Panji yang bentuk serta citranya tidak hanya satu macam.

Hanya ini cerita ini saling melengkapi menceritakan Putra Raja Jenggala, Raden panji Inu Kertapati atau Raden Panji Asmarabangun bersama istrinya Retno Dewi Sekartaji atau Retna Dewi Galuh Candrakirana, putri kediri.

Serat panji Narawangsa ini aslinya ciptaan Sampeyan Ingkang sinuhun Kangjeng Susuhan Paku Buwana IV Kasunaan Surakarta tahun 1732. Semula serat ini berbentuk prosa, namun kemudian dijadikan puisi Jawa (Tembang Macapat dan Tengahan).

Bahasanya menggunakan bahasa Jawa Baru, huruf jawa carik dibuat tembang oleh Raden Panji Partakusuma dimulai hari kamis, 18 jumadil awal, tahun Wawu, 1773 di desa Kinanthi, Semarang. Kemudian dicetak oleh Balai Pustaka, 1938 dalam bentum tambang menjadi pupuh.

Serat Panji Kuda Nawarangsa termasuk dalam jenis Babad, sedang babad itu sendiri bukan sejarah, akan tetapi dalam cerita babad terkandung fakta-fakta sejarah, sama halnya mitos bukanlah sejarah akan tetapi dalam mitos terkandung unsur-unsur sejarah. Meskipun demikian babad perlu juga kita pelajari, bahkan dapat kita jadikan materi sejarah lokal.

Serat ini diberi judul Serat Panji Kuda Narawangsa, sebab inti ceritanya menceritakan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana yang menyamar sebagai Panji Kuda Narawangsa atau Wasi Jayengresmi atau Ni Citra Langenan.

Dewi Sekartaji sampai meninggalkan kasatriyan Jenggala karena Raden Panji suaminya telah mempunyai istri baru yang juga bernama Sekartaji, namun rupanya seperti raseksi.

Memang itu perbuatan Bathari Durga yang ingin mencoba kedua suami istri itu agar berpisah.

Kepergian Sekartaji asli membuat sedih Raden Panji, atau Panji Putra atau Panji Asmarabangun atau Panji Inukertapati hingga dia pun pergi meninggalkan ksatriyan Jenggala dengan hati remuk redam, dengan menyamar sebagai Undhakan Maduretna atau Tumenggung Cakranagara. Setelah melalui berbagai kejadian, akhirnya kedua suami istri itu bisa bertemu kembali dan keduanya kembali ke Jenggala.

Dalam buku ini juga menjelaskan deskripsi Serat Panji Kuda Narawangsa terdiri naskah tulis tangan yang tersimpan di Kon.Bet.Gen.van K en W, Bale Pustaka, 1836 Batawi Centrum. Kemudian dicetak oleh percetakan Balai Pustaka 1938. Bentuk puisi Jawa (Tembang Macapat). Huruf: Jawa Baru cetak.

Judul dalam teks : Serat Panji Kuda Narawangsa
Keterangan Fisik
Ukuran buku : 16-12 Cm
Ukuran bloks teks : 11- 17 Cm
Judul, 1-122 hlm, Daftra isi
Jumlah baris/hlm : 22
Jilid : 1 dari 1
Hal yang ditulisi : 1 + 122
Penomoran halaman : dari percetakan Balai Pustaka
Jenis bahan : kwarto putih kuningan
Keadaan Fisik : Naskah kertas, kondisi baik. Kertas berwarna kecoklat-coklatan. Tulisan
sering tidak jelas namun masih bisa terbaca.
Isi singkat : Naskah berisi roman sejarah yang cenderung cerita ephos Jawa yang
yang menceritakan kehidupan sebuah keluarga bagsawan: Panji Putra
dengan istrinya Dewi Sekartaji dan kehidupan kerajaan-kerajaan Kediri,
1Jenggala, Ngurawan dan Tumapel (Singasari) pada abad ke-13.

Ada beberapa alih aksara dalam buku Serat Panji Kuda Narawangsa bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia yaitu:

Ing Karaton Jenggala Sawangsulipun Dewi Candrakirana Santun Warni

—> Di istana Jenggala SawangSulupun Dewi Candrakirana Santun Berwarna Warni
Cariyos Panji Narawangsa ing serat punika namung kajujug, boten kawiwitan saking cariyos murcanipun Dewi Candrakirana utawi wontenipun tiyang estri lumebet dhateng Kastriyan ngaken-aken Dewi Sekartaji. Nanging anjujug lajeng anyariyosaken bingahing panggalihipun Sang Nata ing Jenggala, dene sanadyan santun rupi, Dewi Sekartaji sampun wangsul, sarta ingkang raka, Sang Panji. Ugi boten anyelaki, taksih lestantun tresna, malah welas dhateng ingkang garwa. Mratandhani bilih ingkang putra pancen setya dhateng garwa.

—> cerita Panji Narawangsa dalam surat ini memang benar adanya, bukan dimulai dari kisah Dewi Candrakirana atau kehadiran seorang wanita memasuki kasatrriyan untuk mengakui Dewi Sekartaji. Tapi kemudian dia bahagia hati raja ada di Jenggala, tapi meski tampan, Dewi Sekartaji telah kembali, dan saudaranya, Sang Panji. Juga tidak Anyelaki, tetap menyayangi, bahkan mengasihani istrinya. Tunjukkan bahwa anak setia istrinya.
ASMAARADANA // 1. Bungahing marwata siwi, wong agung Cinthakapura miyarsa ature Raden, Dhuh Raden anak manira, nyawa kang Dhawuhmarma, sokur ing Bhatara Luhung setya tuhu manahira.

—> kegimbaraan seorang lelaki hebat Cinthakapura mendengarkan Raden , wahai Raden putramu, jiwa Dhawuhmarma berkat Bhatara Luhung setia hatiku.
Angandika Sri Bopati, Heh kaki Nila Prabangsa, arinira Raden Sinom, arsa ingsun panggihena, lawan Candrakirana, mumpung becik tahunipun ing besuk Budha Cemengan.

—> Sri Bopati berkata, Heh kaki Nila Prabangsa, kamu adalah Raden Sinom, akun ingin bertemu denganmu, melawan Candrakirana, sementara itu selamat ulang tahun baru, selanjutnya Budha Cemengan.
Paran karsanira Patih. Wot sekar Kudanawarsa, Samana atur sembahe, Sewu jumurung patikbra, lan karsane Narendra, Leres karsane Sang Prabu.

—> itu keinginan Patih, Wot sekar kudanawarsa, Samana atur pemujaanya, Shuju jumurung patibra, dan wasiat Narendra, Benar kehendak raja,

B. Persamaan dan perbedaan antara buku Serat Panji Kuda Narawangsa dengan jurnal Cerita Panji Antara Sejarah, Mitos, dan Legenda oleh Samaryono, dan Jurnal Transformasi Karya Sastra Panji Ke Dalam Seni-Seni Pertunjukkan oleh Dr. Sumaryono, M.A,.


Sebelumnya, di dalam jurnal Cerita Panji Antara Sejarah, Mitos, Legenda dan Jurnal Transformasi karya sastra Panji ke dalam seni-seni pertunjukan terdapat beberapa cerita panji dengan versi dimensinya dan sosok Panji, antara Mitologi dan Filosofinya dan cerita yang sama.

Persamaan

Dalam buku dan jurnal yang saya baca terdapat persamaan yaitu cerita yang sama. Namun, di dalam buku Serat Panji Kuda Narawangsa ceritanya singkat dan dalam jurnal Transformasi karya sastra panji ke dalam seni-seni pertunjukkan ini ceritanya lebih efektif dan lebih menceritakan karya seni panji, sedangkan dalam jurnal cerita Panji Antara Sejarah, Mitos, dan Legenda terdapat cerita panji dalam dimensi sejarah.
Cerita dalam jurnal transformasi karya sastra panji ke dalam seni-seni pertunjukkan adalah Cerita Kuda Nawarangsa diawali ketika calon pengantin putri di Jenggala, yang akan di kawinkan dengan putra mahkota Jenggala Bernama Asmarabangun hilang dari taman keputren.

Ia diculik oleh Bathari Durga, dan dibuang ke hutan. Raja, permaisuri, dan lebih-lebih Panji Asmarabangun, dari hari ke hari seperti orang linglung, kebingungan, dan selalu menyebut-nyebut calon istrinya Galuh Candrakirana. Keadaan istana menjadi berubah Ketika Dewi Sekartaji datang, dan menghadap Raja jenggala.

Panji Asmarabangun menjadi Bahagia Kembali hati dan perasaannya. Sekartaji yang telah hilang tiba-tiba muncul dengan kondisi tubuh yang agak gemuk, dan memiliki kebiasaan tersenyum yang berlebihan, bahkan cenderung suka menyeringai kepada setiap orang yang di jumpainya. Semua orang tidak sadar bahwa “Dewi Sekartaji” yang baru datang tersebut adalah penyamaran dari orang dari pejagalan, putri, Bremana Kanda yang tergila-gila dengan Asmarabangun. Dewi sekartaji yang terbuang di Tengah hutan bersamadi, mohon petunjuk kepada Dewata.

Bathara Nadara memberi petunjuk agar sekartaji menyamar sebagai laki-laki Bernama ki Jayengresmi alias Kuda Narawangsa, sebagai jalan untuk bisa bertemu Kembali dengan calon suaminya Asmarabangun. Kuda Narawangsa mendengar berita bahwa “Dewi Sekartaji” telah kembali ke istana, dan segera berangkat ke Jenggala ingin menyaksikan arakarakan pengantin putra mahkota Jenggala, dan bermaksud menghamba kepada raden Panji Asmarabangun. Singkat cerita Kuda Narawangsa berhasil mengabdi kepada Panji Asmarabangun.

Kuda Narawangsa memiliki keahlian sebagai dalang. Panji Asmarabangun sangat tertarik dan terpikat ketika menyaksikan Kuda Narawangsa mendalang, dan sebaliknya pada Dewi Sekartaji (palsu) tidak suka kalau Kuda Narawangsa mendalang.

Kuda Narawangsa Ketika mendalang suka menyindir-nyindir tingkah laku Dewi Sekartaji yang bagai raseksi. Kuda Narawangsa lama kelamaan tidak tahan akan kegundahan hatinya, dan pergi meninggalkan istana Jenggala.Panji Asmarabangun mengetahui bahwa Kuda Narawangsa meninggalkan istana, dan ia pun bermaksud untuk mencarinya. Pengembaraan Asmarabangun tiba di kediaman seorang pendeta bernama Sukarti.

Sukarti mengetahui maksud dan isi hati Asmarabangun, dan menyarankan untuk menyamar agar bertemu dengan Kuda Narawangsa. Panji Asmarabangun pun berganti nama menjadi Tumenggung Maduretna, Carangwaspa bernama Astracapa, dan Raden Lempungkaras berganti nama menjadi Wukirkusuma. Kerajaan Urawan dikabarkan akan diserang oleh Raja Sewandana yang kecewa karena ditolak melamar putri Raja Urawan.

Raja Urawan minta bantu Tumenggung Maduretna dan pengiringnya untuk menghadapi serangan prajurit Sewandana. Candrakirana yang tersesat di hutan bertemu dengan prajurit Sewandana, dan dibawa menghadap raja Sewandana.

Candrakirana, yang telah menyamar sebagai Citralangenan bersedia membantu raja Sewandana berperang dengan Tumenggung Maduretna. Raja Sewandana dan prajuritnya dapat dikalahkan oleh Maduretna dan prajurit Urawan.

Tumenggung Maduretna akhirnya berhadapan dengan Citralangenan untuk berperang. Keduanya timbul keraguan, dan berfirasat bahwa Maduretna adalah Asmarabangun, sebaliknya Maduretna juga merasa bahwa Citralangenan adalah Dewin Sekartaji ( Sastronaryatmo, Moelyono., dan R, Aj. Ind ri Nitriani, 1982)

Dalam jurnal cerita antara Sejarah, mitos, dan legenda terdapat cerita yang sama. Namun, cerita panji tersebut dalam dimensi Sejarah yaitu Diperkirakan bahwa cerita Panji muncul pada tengah pertama abad XIII, pada menjelang lahirnya kerajaan Majapahit.

Dalam catatan sejarah, setidaknya tahun 1375 cerita Panji sudah populer di Jawa Timur. Hal ini dibuktikan dengan adanya relief di candi Panataran (1369) yang menggambarkan adegan Panji Kartala dihadap oleh panakawan Prasanta (Supriyanto, Henri, 1997: 14).

Lahirnya cerita Panji saat itu dapat diduga ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masamasa sebelumnya. Setidaknya terdapat unsur-unsur kesamaan antara cerita Panji dengan keadaan dan peristiwa sejarah yang terjadi sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa tahun 1049, sebelum turun tahta raja Airlangga di Kahuripan membagi kerajaan menjadi dua untuk anak-anaknya dari istri selir. Pembagian dua wilayah tersebut dibatasi oleh sungai Berantas.

Di sebelah timur sungai Berantas, wilayah tersebut dinamakan Jenggala, dan di sebelah barat sungai Berantas bernama Panjalu, yang di kemudian hari terkenal dengan sebutan Kediri, atau Daha (Hall, 1988: 68). Dalam arti kata bahwa penguasa wilayah Jenggala dan Panjalu atau Kediri dalam sejarah adalah dua bersaudara yang merupakan putra raja Airlangga.

Selain itu, di dalam sejarah juga tercatat bahwa Candrakirana adalah permaisuri raja Panjalu (Kediri) yang bernama Kammeswara. Candrakirana sendiri adalah seorang putri yang berasal dari Jenggala (Kartodirdjo dkk, 1975: 11). Artinya dua raja bersaudara itu pun masih memperkuat hubungan kekeluargaannya melalui ikatan-ikatan perkawinan antar anggota keluarga raja.

Adapun di dalam sumber-sumber tertulis maupun folklor cerita Panji, Jenggala dan Kediri adalah dua kerajaan yang masing-masing dikuasai oleh dua raja kakak beradik, yaitu Prabu Lembu Amiluhur (Jenggala) dan Prabu Lembu Hamijaya (Kediri).

Lembu Amiluhur adalah kakak dari Lembu Hamijaya yang keduanya adalah putra Resi Gatayu di Kahuripan. Terkait dengan nama ‘Candrakirana’, di dalam cerita Panji adalah istri Panji Asmarabangun atau juga dikenal dengan nama Inu Kertapati. Asmarabangun adalah putra Prabu Lembu Hamiluhur dari Jenggala, dan Candrakirana, yang juga bernama Sekartaji adalah putri Prabu Lembu Hamijaya di Kediri.

Keberadaan raja Jenggala dan raja Kediri di dalam cerita Panji, dengan demikian dapat dianalogikan sebagai dua penguasa wilayah Jenggala dan Panjalu dalam dimensi sejarah yang merupakan putra-putra keturunan raja Airlangga.

Adapun perbedaannya adalah pada sosok Candrakirana, yang dalam cerita Panji adalah putri mahkota Kediri yang dipertunangkan dengan putra mahkota Jenggala Inu Kertapati yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai raja Jenggala bernama Dewakusuma (Porbatjaraka, 1968: 104).

Kronologi-kronologi peristiwa, dan kisah percintaan Asmarabangun dengan Candrakirana pun dalam cerita Panji berkembang demikian luasnya dan penuh variasi, serta demikian pula perbedaan sebutan nama tokohtokoh utamanya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diduga, bahwa penyusun pertama cerita Panji saat itu terinspirasi oleh peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada kerajaan-kerajaan di Jawa Timur abad X sampai dengan awal abad XIII. Oleh karena itulah dalam beberapa hal cerita Panji terasa seperti babad.

Babad itu sendiri adalah catatan-catatan sejarah yang dielaborasi dengan unsur-unsur legenda dan mitos. Serat babad, yang banyak ditulis oleh para pujangga keraton tentang sejarah kerajaan, raja, dan situasi kehidupan kewilayahan suatu daerah Kerajaan. Cerita Panji bila dicermati dan ditelaah lebih mendalam akan terasa sekali persamaannya dengan serat babad.

Persoalannya bahwa catatan-catatan sejarah dalam bentuk serat babad baru muncul pada seputar abad XVIII. Oleh sebab itu mungkin sekali bahwa penyusunan cerita Panji saat itu didorong oleh spirit penulisan sejarah model serat babad, sebagaimana ungkapan-ungkapan suasana hati empu Prapanca ketika menulis Nagarakretagama di periode Majapahit.

Di dalam Nagarakretagama nampak sekali bahwa Prapanca secara berlebihan mengagung-agungkan Hayamwuruk sebagai raja besar, berwibawa, yang ahli pula dalam berolah seni (seni pertunjukan).

Justru dalam bentuk penceritaannya yang menyerupai serat babad maka lalu begitu elastis dan adaptif terhadap unsur-unsur legenda dan mitos. Hal ini pula yang memungkinkan para pujangga generasigenerasi berikutnya cerita Panji mengembangkan cerita Panji sedemikian rupa sehingga mengesankan cerita Panji sebagai cerita fiktif atau dongeng belaka.

Perbedaan-perbedaan versi cerita Panji itu pun sampai sekarang masih bisa dilacak, baik cerita Panji dalam berbagai bentuk karya sastra maupun di dalam seni-seni pertunjukan seperti halnya wayang bèbèr, wayang gedhog, wayang topèng, dan gambuh yang berkembang dalam bentuk-bentuk tradisi lisan di masyarakat.

Perbedaan

Perbedaan antara buku serat panji kuda narawangsa dengan Cerita Panji Antara Sejarah, Mitos, Legenda dan Jurnal Transformasi karya sastra Panji ke dalam seni-seni pertunjukan, di dalam buku serat panji kuda narawangsa terdapat alih aksaranya dengan deskripsi serat panji kuda narawangsa, dan jurnal cerita panji antara sejarah, mitos, dan legenda terdapat penjelasan mengenai sosok panji antara mitologi dan filosofi yaitu Telah lama Panji Asmarabangun dan pasangannya Dewi Candrakirana, dalam mitologi Jawa dianggap sebagai reinkarnasi Dewa Wisnu dan Dewi Sri (Dewi Padi).

Raffles mencatat, bahwa mitos Panji sebagai reinkarnasi Dewa Wisnu, dan Dewi Candrakirana sebagai reinkarnasi Dewi Sri atau Dewi Padi adalah cerita-cerita tutur yang dikembangkan oleh orangorang Jawa untuk menghormati dan memuliakan Panji Asmarabangun dan Candrakirana (Raffles, 2008: 447).

Mitos Panji sebagai reinkarnasi Dewa Wisnu, dan Candrakirana reinkarnasi dari Dewi Sri terdapat pula di dalam Serat Kandha. Serat Kandha adalah salah satu buku babad di Jawa yang berisi tentang sejarah Jawa.

Sebagaimana bukubuku babad yang lain, isi serat Kandha merupakan elaborasi unsur-unsur sejarah, legenda, dan mitos. Sedangkan dalam jurnal transformasi karya sastra panji ke dalam seni-seni pertunjukan, membahas mengenai karya sastra panji dan juga seni pertunjukannya.

Adapun adaptasi cerita Panji berikutnya tergantung pada bentuk atau jenis seni pertunjukannya. Beberapa contoh seni pertunjukan tradisional yang senantiasa membawakan cerita Panji misalnya;

(1) wayang beber,

(2) wayang kulit gedhog, dan

(3) wayang topeng. Masing-masing dari tiga bentuk seni pertunjukan tersebut memiliki cara pementasan yang berbeda-beda.

Wayang bèbèr misalnya, adalah
repertoar seni pertunjukan wayang menggunakan gulungan kertas yang dibentangkan.

Bentangan kertas/kain bergambar tersebut secara frahmentaris menggambarkan
adegan-adegan atau peristiwa suatu lakon Panji. Sedangkan pertunjukan wayang kulit
gedhog mirip dengan pertunjukan wayang kulit purwa, di dalam mana si dalang
memainkan boneka-boneka wayang yang menggambarkan tokoh-tokoh dalam lakon
Panji.

Adapun pertunjukan wayang topèng, khususnya di Jawa tengah dan Yogyakarta
selalu membawakan lakon-lakon Panji dengan para actor/penari mengenakan topeng
di wajah sesuai dengan tokoh-tokoh dalam cerita Panji.

Kesimpulan

Berdasarkan sumber-sumber cerita Panji di atas jelaslah, bahwa ciri khas cerita Panji, apapun versinya selalu diwarnai dengan pengembaran dan penyamaran dari tokoh-tokoh utamanya.

Cerita Panji dengan demikian merupakan sumber kreatif yang tidak akan habis-habisnya untuk dituangkan ke dalam karyakarya seni, baik karya seni sastra maupun karya seni pertunjukan.

Cerita Panji yang merupakan cerita asli Indonesia, khususnya Jawa, sudah saatnya untuk diperkenalkan kembali kepada masyarakat, baik melalui media seni tradisional maupun dalam bentuk karya-karya seni modern.

Justru menjadikan cerita Panji sebagai sumber kreatif melalui seniseni modern sekaligus dapat menunjukkan bahwa cerita Panji begitu adaptif terhadap situasi dan perkembangan zaman.

Persoalannya adalah tergantung bagaimana para seniman mengolah dan menggarapnya. Cerita Panji pun juga merupakan bagian dari nilai-nilai peradaban yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang bersumber dari kebudayaan Jawa.



Posting Terkait

Jangan Lewatkan