Uji Materil Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang no. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota (UU PILKADA)

Jakarta – Firman H Simanjuntak kuasa Hukum pemohon mengikuti sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang tentang Syarat Calon Kepala Daerah, Senin (29 Juli 2024) di Ruang Sidang MK, Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung Mahkamah Konstitusi. Sidang ini dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Majelis Hakim Panel mengesahkan alat bukti yang disampaikan para Pemohon.

Firman Hasurungan Simanjuntak, S.H. selaku Tim Kuasa Hukum Pemohon menjelaskan bahwa kami sudah melakukan Uji Materil Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang no. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota (UU PILKADA). Di mana di Pasal di ketentuan huruf o bahwa yang kepala daerah tidak bisa menjadi atau mencalonkan diri untuk periode berikutnya sebagai Wakil Kepala Daerah. Klien kami ini ingin menjadi Kepala Daerah. Suatu saat dia ingin menjadi Kepala Daerah dan dia ingin menggandeng wakilnya dari mantan Kepala Daerah yang pernah menjabat satu periode sebelumnya. Tetapi ini terganjal dengan adanya ketentuan di Pasal 7, Ayat 2, huruf o tersebut. Di mana Pasal tersebut mengatakan Gubernur, Bupati, Walikota tidak bisa menjadi calon Wakil Gubernur atau Bupati, Walikota untuk priode selanjutnya. Ini namanya diskriminasi. Pasal tersebut tidak ada urgensinya. Itu untuk menjaga maruah Kepala Daerah supaya dia masih memiliki kuasa dan memiliki pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya. Itu tidak ada.

Jadi kami melakukan uji materi tersebut supaya Pasal 7, Ayat 2, huruf o itu ditiadakan. Pada persidangan pertama kemarin kita disuruh melakukan perbaikan. Karena kami pemohon dianggap tidak mempunyai legal standing. Karena kata majelis panel saat itu yang dihadiri oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Itu mengatakan bahwa pemohon kami tidak punya legal standing. Karena Pasal 7, Ayat 2, huruf o itu yang bisa melakukan uji materi terhadap ketentuan tersebut adalah mantan kepala daerah. Misalnya Ahok, Ahok ingin jadi Wakil Gubernur disandingkan dengan misalnya Anis atau dengan yang lainnya. Itu harus Ahok sendiri yang melakukan uji materi terhadap Pasal 7, Ayat 2, huruf o tersebut. Jadi kalau orang lain yang ingin menjadi gubernur,
menjadi kepala bupati dan menjadi walikota ingin bersandingan dengan mantan bupati, atau mantan gubernur, atau mantan wali kota itu tidak bisa. Tidak mempunyai legal standing kata majelis panel.

“Oleh karena itu hari ini kami melakukan perbaikan. Perbaikan permohonan kami memasukkannya karena majelis panel mengatakan agar menjadikan putusan-putusan Mahkamah sebelumnya itu sebagai referensi. Karena adanya statement itu dari majelis panel, maka kami menggunakan referensi kami adalah putusan 90 kemarin. Di mana putusan 90 itu, saudara pemohon Almas saat itu tidak punya legal standing. Karena dia memohonkan dalam permohonan putusan 90 itu, dia memohonkan calon gubernur itu usia 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah. Pemohon belum usia 40 tahun, belum dan tidak pernah menjadi kepala daerah kenapa bisa legal standing-nya terpenuhi ketika mengajukan permohonan itu di MK. Klien kami apa bedanya. Petitumnya benar-benar untuk klien kami sendiri dab bukan untuk orang lain. Adapun petitum klien kami jelas bahwa ketentuan pasal 7, ayat 2, huruf o itu disebut yang mengatakan bahwa mantan kepala daerah, gubernur, bupati, walikota tidak bisa mencalonkan kembali menjadi wakil gubernur, wakil bupati, wakil walikota di tempat yang sama. Itu jelas petitumnya untuk klien kami sendiri. Jadi klien kami merasa bahwa klien kami sangat berhak dan sangat memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan judicial review ini,” tutupnya Firman.

Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Republik Indonesia No.: 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014, yang terahir di ubah dengan Perpu No. 2 Tahun 2020 Tenntang Perubahan ketiga atas Undnag-undangn No. 1 Tahun 2015 dan ditetapkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Persidangan atas Judicial review Pasal 7 ayat (2) huruf o tersebut diatas telah disidangkan melalui sidang pemeriksaan pendahukuan pada hari senin tanggal 15 Juli 2024 yang lalu, akan tetapi 3 orang Hakim Panel yaitu Prof. Saldi Isra, Prof. Anwar Usman, dan Prof. Asrul Sani menyarankan untuk diperbaiki permohonan tersebut, hal mana yang ditekankan adalah Legal Standing Para Pemohon.

Panel menyoroti Legal standing para Pemohon karena para pemohon dianggap tidak memiliki legal standing mengajukan uji materil Pasal 7 ayat (2) huruf o itu, menurut Panel yang berhak mengajukan uji materil Pasal tersebut adalah Mantan Kepala Daerah yang ingin mencalonkan diri Kembali sebgai Wakil Kepala Daerah, sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf o tersebut yaitu : Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, ….(o) belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama, sehingga hak Pemohon sebagai Warga Negara yang ingin mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah untuk dapat bebas menentukan/memlilih calon wakilnya termasuk calon wakil dari Mantan Kepala Daerah yang sudah pernah menjabat satu periode pada masa sebelumnya tidak dapat dibenarkan, hal mana menurut Panel Pemohon bukanlah mantan Kepala Daerah yang terdampak langsugn oleh ketentuan dimaksud.

Argumentasi Panel diatas tentu sangat bertentangan dengan putusan Mahkamah No. 90/PUU -XXI /2023, Bahwa berkaca pada putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tersebut Tentang batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, didalam legal standing permohonan 90/PUU-XXI/2023 tersebut pemohon mendalilkan bahwa pemohon bercita-cita menjadi seorang Presiden, akan tetapi didalam pokok-pokok permohonan, pemohon tidak menguraikan kembali alasannya ingin menjadi presiden, akan tetapi pemohon menguraikan dengan sangat rinci tentang Gibran Raka Buming Raka yang kala itu menjabat sebagai walikota solo yang diupayakan agar dapat mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden.

Selain itu didalam petitum permohonan pemohon juga tidak meminta agar batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden disesuaikan dengan usia pemohon yang saat mengajukan permohonan uji materil di MK baru berusia 23 tahun. Pemohon malah meminta usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tetap 40 tahun, atau pernah menjabat sebagai Kepala Daerah, berikut petitum pemohon No. 90/PUU-XXI/2023: “Menyatakan pada Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 224, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6832) sepanjang “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “… atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten / Kota.” Petitum yang diputus dan dikabulkan oleh Mahkamah ini sangat jelas bukan ditujukan pada pemohon, dikarenakan pemohon masih seorang mahasiswa aktif yang usianya belum mencapai 40 tahun dan belum pernah menjadi Kepada Daerah. Oleh karena itu merujuk pada putusan Mahkamah 90/PUU-XXI/2023, dan kami sangat yakin bahwa Mahkamah pada prinsipnya Imparsial dalam menangani perkara, tidak membeda-bedakan antara pemohon yang satu dengan pemohon yang lain, Maka dari itu Klien kami Para Pemohon merasa memiliki legal standing yang sama dengan pemohon pada putusan 90/PUU-XXI/2023, sehingga kami memiliki legal standing dalam permohonan 73/PUU-XXI/2024 aquo.

Red Irwan



Posting Terkait

Jangan Lewatkan