Kabupaten Bogor, MPN
Masyarakat saat ini sudah mengenal banyak organisasi advokat yang eksis di Indonesia. Pembentukan organisasi advokat ini tak terlepas dari sejarah yang tertulis dalam buku saku yang berjudul Sejarah Advokat Indonesia dan Tokoh-Tokohnya dalam Memperjuangkan Rule of Law yang ditulis oleh Prof Dr Frans H Winarta, SH, MH.
Eksistensi organisasi advokat yang ada di Tanah Air ini merupakan hasil perjuangan para advokat yang memiliki semangat perjuangan yang sama dalam memperjuangkan dan menegakkan HAM dan peradilan yang benar, jujur, adil, terbuka dan mandiri. Sebab dahulu kala, pemerintah Orde Baru (Orba) menyatukan seluruh organisasi advokat menjadi satu wadah yang tunggal, meski sempat mendapat pertentangan dari Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan para advokat yang ada di Indonesia.
Hal ini dikatakan Edison, SH selaku advokat senior dan Tholib S Hidayat, SH selaku Managing Partner Kantor Hukum Ether di Komplek Ruko Cileungsi Hijau, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, belum lama ini. Dia kemudian mengutip tulisan dari Prof Dr Frans H Winarta, SH, MH tentang sejarah advokat Indonesia.
“Pemerintah RI pada masa Orde Baru meminta seluruh Advokat Indonesia, khususnya yang bergabung dengan Peradin untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat karena melihat organisasi advokat yang vokal saat itu,” ungkap Erison.
Pada masa Orde Baru, kata Edison, para penggagas mengambil contoh dari negara Belanda. Para advokat di Belanda, lanjut dia, bersepakat untuk membentuk single bar association (wadah tunggal) yang diberi nama Nederlanse Orde van Advocaten (“Nova”).
“Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah Orba meminta seluruh advokat membentuk wadah tunggal organisasi advokat, padahal hal tersebut tidak cocok dengan kondisi di Indonesia. Pembentukan wadah tunggal ditentang oleh Peradin dan banyak advokat lainnya, namun karena saat itu suasana kebatinan serta semangat ingin bersatu, maka terbentuklah organisasi tunggal advokat,” ulas Edison.
“Banyak yang menganggap bersatunya advokat dalam satu wadah akan menjadi satu kekuatan besar. Padahal wadah tunggal tidak cocok dengan bangsa kita yang multikultural. Yang saya tahu waktu itu Yap Thiam Hien dan Adnan Buyung Nasution tidak setuju penyatuan dalam wadah tunggal, karena tekanan politik waktu itu sebagian besar mengikuti kemauan pemerintah Orde Baru,” imbuh Edison.
Alhasil, akhirnya dilaksanakanlah perhelatan “Musayawarah Nasional Advokat Indonesia” pada 9-10 November 1985 di Hotel Indonesia, yang pada akhirnya membentuk Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan memilih Harjono Tjitrosubono, SH sebagai Ketua Umum Ikadin yang pertama. “Sejak saat itu Peradin vakum tahun 1985 karena sebagian besar anggotanya menjadi pengurus dan anggota Ikadin,” imbuhnya.
Pada tahun 1987, kata Edison, Pemerintah RI kemudian mengijinkan pendirian Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (PHI) sebagai wadah bagi para “pengacara praktik”. Kongres Ikadin pada tahun 1989 ditunda sampai dengan Juli 1990 karena adanya konflik internal dalam tubuh Ikadin yaitu mengenai hak suara.
“Ikadin kemudian diterima menjadi anggota pendukung yang lazim disebut sustaining member dari International Bar Association atau IBA pada bulan Januari 1990. Selanjutnya Ikadin secara resmi menjadi anggota tetap yang istilahnya full atau membership ke-113 IBA pada 1 Maret 1992,” ujar Edison.
Pengumuman kedudukan Ikadin sebagai anggota IBA juga dikukuhkan di dalam pertemuan Dewan Badan Advokat Dunia pada 19 Juni 1993 di Budapest, Hongaria. Selain itu, pemilihan Ikadin sebagai anggota IBA juga diterangkan melalui surat Presiden IBA, Madcline May, yang ditujukan kepada Ketua Ikadin Harjono Tjitrosoebono tertanggal 6 Juli 1993. Pendaftaran saat itu disaingi oleh Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang kemudian ditolak oleh IBA.
Kongres Ikadin, kata Edison, akhirnya diadakan pada tanggal 24 Juli 1990 di Hotel Horison. “Pada kongres ini, konflik mengenai hak suara berakhir deadlock. Kemudian pada tanggal 26 Juli 1990, Gani Djemat dan kawan-kawan melakukan aksi walked out dan mermbentuk organisasi advokat sendiri yaitu Asosiasi Advokat Indonesia AAI,” imbuh dia.
Pasca lahirnya organisasi advokat baru AAI yang dipimpin Gani Djemat, pemerintah RI aktif kembali menata organisasi advokat dan memprakarsai ide wadah tunggal advokat melalui musyawarah nasional advokat Indonesia pada tahun 1991 di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat. Musyawarah nasional tersebut pada akhirnya membentuk wadah tunggal Persatuan Oj,-anisasi Pen: acara Indonesia POPERI. Namun sampai sekarang POPERI tidak jclas status dan aktifitasnya.
Kemudian pada tahun 1992, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) mengadakan musyawarah nasional II di Jogjakarta. Musyawarah nasional tersebut menghasilkan perbedaan pendapat yang sangat krusial sehingga berakhir dengan perpecahan. “Kemudian pada bulan November 1992 di Tretes, Jawa Timur dibentuklah Himpunan vokat dan Pen acara Indonesia HAPI dan dideklarasikan pada 10 Februari 1993 di Jakarta,” pungkasnya. (Mul)
Komentar