Kabupaten Bogor, MPN
Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengamanatkan pembentukan organisasi tunggal advokat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 UU Advokat: yang menyebutkan “Organisasi Advokat merupakan satu-satunva wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”.
Hal ini dijelaskan Edison ini mengutip dari buku saku berjudul Sejarah Advokat Indonesia dan Tokoh-Tokohnya dalam Memperjuangkan Rule of Law yang ditulis oleh Prof Dr Frans H Winarta, SH, MH.
“Pembentukan organisasi advokat saat ini seharusnya dilakukan dengan cara one man one vote yang harus ditentukan oleh para advokat dalam Musyawarah Nasional. Saat ini kita harus menentukan wadah organisasi apa yang cocok dengan budaya kita, mau menggunakan sistem single bar atau multi bar,” tegas Edison saat bersama Tholib S Hidayat, SH selaku Managing Partner Kantor Hukum Ether di Komplek Ruko Cileungsi Hijau, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, belum lama ini.
Lebih lanjut Edison menyebut dalam sejsrah advokat Indonesia, Ikadin sebagai National Bar Association di Indonesia pernah bekerja sama dengan organisasi advokat Belanda, Nederlanse Orde van Adrocaten (“Nova”) yang berdomisili di Den Haag. Berdasarkan Memorandum of Understanding (“MoU”) antara IKADIN dan Nova yang ditandatangani tanggal 8 Mci 1992 di Hotel Charlemagne, Brussels.
Salah satu kesepakatan dalam MoU itu, lanjut Edison, adalah kesanggupan Nova mendirikan law library atau perpustakaan hukum di Jakarta dan “Twinning Program” yaitu kerja sama antara negara maju dan negara berkembang di bidang hukum sebagai anggota International Bar Association (“IBA”). Perpustakaan Hukum tersebut ditempatkan di Erasmus Huis, yang kemudian karena tidak mendapatkan pembaca yang memadai akhirnya buku-buku tersebut dipindahkan ke perpustakaan Mahkamah Agung RI. Begitu juga rencana menerjemahkan buku-buku hukum kcdalam Bahasa Indonesia menjadi gagal.
“Perpustakaan Hukum ini bukan hanya merupakan program kerja sama Ikadin dan Nova, tetapi didukung juga oleh Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Kementerian Kehakiman Belanda, Kementerian Luar Ncgcri Belanda, dan Penerbit Wolters Kluwer BV di bawah Stichiing Rechuspraktijk Indonesie (Foundation Law Practice Indonesia). Pengawas penataan ruangan dan penyusunan buku Perpustakaan Hukum di Erasmus Huis adalah J. Engclaan, pejabat yang bertanggung jawab di Departemen Kehakiman Kerajaan Belanda dan dari pihak Indonesia ada Adi Andojo, Prof Frans H Winarta, Prof Soenaryati Hartono, Prof Koesnadi Hardjasoemantri, Soekardjo Adijojo, dan lain-lain,” papar Edison.
Menelusuri konsep tentang negara hukum, kata Edison, pada dasarnya dapat dijelaskan melalui dua aliran pemikiran, yaitu : konsep Rechtsstaat dan The Rule of Law. Istilah Rechtsstaat mulai popular di Eropa sejak abad ke-19. Sedangkan istilah Rule of Law mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey Tahun 1855 dengan judul “Introduction to The Study of The Law of The Consiitution”.
“Konsep Rule of Law diwujudkan dengan adanya persamaan hak, kewajiban, dan derajat dalam suatu negara di hadapan hukum. Setiap warga negara dianggap sama di hadapan hukum dan berhak dijamin perlindungan hak asasi manusia melalui sistem hukum negara tersebut atau Eguality Before The Law,” ulas Edison.
Rule of Law dikatakan sebagai The Supremacy of Law dan juga dapat diartikan sebagai social justicNegara bukanlah institusi yang kebal hukum, negara dapat dimintakan pertanggungjawaban jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum. “Inti dari Rule of Law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana rakyat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman dan dijamin hak asasinya. Negara dan Indvidu adalah setara,” imbuhnya.
Edisin kemudian menyatakan Konsep Rechisstaar berkembang di sistem hukum Eropa continental yang disebut Civil Law, misalnya Jerman. Konsep Rule of Law berkembang di sistem hukum Anglo Saxon yang disebut Common Law, misalnya Inggris. Konsep Rechisstaat menekankan pada pemisahan kekuasaan yang dikenal dengan istilah Trias Politica yang kemudian berkembang dan mengenal Checks and Balances untuk mencegah Abuse of Power serta adanya Peradilan Administrasi (TUN).
“Hal ini merupakan wadah bagi warga negara untuk melakukan pembelaan di hadapan hukum sebagai akibat dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang. Konsep Rule of Law menekankan pada terciptanya kesetaraan antara individu dengan negara. Hal ini sebagai protes dari bentuk pemerintah yang absolut atau L ‘ETAT CEST MOI,” kata Edison.
Secara formal istilah Negara Hukum dapat disamakan dengan Rechtsstaat ataupun Rule of Law mengingat kedua istilah tersebut mempunyai arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia atau Exploitation de I’homme du Citoyen. “Perbedaannya terletak pada arti materiil atau isi dari ketiga istilah tersebut yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa,” pungkasnya. (Mul)
Komentar