Mediapatriot.co.id Jakarta 19 Februari 2025 Dalam jumpa pers antara Koalisi Buruh Sawit (KBS)Koordinator KBS Bapak Ismet Inoni didampingi sesama mitra KBS Bapak Laurent Dan Pak Yanto mengatakan dalam pemaparannya kepada awak media di Royal Kuningan Hotel Jakarta Selatan ( 19/2/2025 ) Intinya catatan berbagai lembaga organisasi buruh perkebunan sawit menunjukkan nasib buruh sawit sama dengan buruh perkebunan di masa kolonial, miris sekali.
Khususnya Buruh pekerja sawit wanita di berbagai perusahaan pengolahan sawit Indonesia di beberapa daerah menurut survey yang pernah dilakukan, banyak sekali hak hak buruh pekerja sawit khususnya wanita, ” Terabaikan, sehingga peran K3 yang digaungkan Pemerintah Indonesia tidak terealisasikan di sektor pekerja sawit di beberapa titik perusahaan pengolahan sawit Indonesia yang sama sekali tidak berjalan sesuai harapan pemerintah Indonesia melalui K3 ( Keselamatan Dan Kesehatan Kerja) Baik dalam hal APD (Alat Pelindung Diri) ataupun tempat Bilas seusai para pekerja sawit bekerja, sangat kurang memadai bahkan di beberapa tempat perusahaan sawit tidak disediakan sama sekali buat tempat, “Bilas”, Ujar Ismet Inoni dalam pemaparannya ke awak media sebelum diadakan acara Seminar Sawit di lokasi yang sama pula.
Koordinator Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network/ TPOLS), Rizal Assalam, menyebutkan terdapat enam ciri khas industri perkebunan sawit yang menyengsarakan para buruh. Enam ciri tersebut diantaranya adalah kondisi kerja yang buruk terkait upah rendah, eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan, cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang dimanipulasi, ekspansi perkebunan sawit, pertanian kontrak/ plasma, dan konflik tanah, penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan, dan ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat.
“Ini menunjukkan hubungan kerja gaya kolonialisme masih ditemui di perkebunan sawit saat ini. Walaupun industri ini sudah ratusan tahun lamanya, kondisi buruh perkebunan sawit masih jauh dari ideal,” ucap Rizal dalam jumpa pers Koalisi Buruh Sawit di Hotel Royal Kuningan Jakarta pada Rabu (19/02/2025).
Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Damar Panca, menyebutkan nasib buruk buruh sawit ini tak lepas dari kondisi regulasi nasional yang buruk.
Industri Sawit telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, namun sayangnya keuntungan tersebut tidak sejalan dengan kondisi yang dirasakan buruh di perkebunan sawit.
“UU Cipta Kerja telah memperkokoh praktek eksploitatif di perkebunan dengan memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual/musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” ujarnya.
Menurutnya kesejahteraan buruh sawit ini berbanding terbalik dengan kekayaan para pengusaha sawit. Ketimpangan ini pun menunjukkan bahwa regulasi tidak berpihak pada buruh dan memperkaya para pengusaha. Misalnya saja kontrak yang tak jelas terhadap buruh lepas.
Ironisnya sektor sawit tercatat sebagai penyumbang devisa negara yang besar. Data Kementerian Perdagangan, sampai dengan September 2024, kinerja ekspor nonmigas sebesar 181,14 miliar dolar AS. Ekspor lemak dan minyak nabati mencapai 14,43 miliar dolar AS, termasuk didalamnya minyak dari kelapa sawit.
Sementara regulasi tingkat global seperti Regulasi Uni Eropa tentang Anti Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/ EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (Corporate Sustainability Due Diligence Directive/ CSDDD) yang diterapkan beberapa tahun ke depan memunculkan pertanyaan terkait dampaknya dan mekanisme perlindungan buruh. Pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember lalu menegaskan bahwa regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa diakses oleh serikat buruh. (*)
Kontributor : ( Indra Permana )
Komentar