PMI di Jepang: Antara Status Pekerja dan Kerentanan Hukum

 

Jakarta, (MediaPatriot.co.id) – Perbedaan pengakuan status migran dengan status visa magang antara Indonesia dan Jepang menjadi salah satu tantangan besar bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Di Indonesia, undang-undang pelindungan PMI 18/2007, pemegang visa magang tidak diakui sebagai pekerja, sementara Jepang menganggap mereka sebagai bagian dari tenaga kerja dengan di keluarkannya Technical Intern Act, dengan di masukkannya elemen pekerja dalam undang-undang yang memberikan perlindungan hukum bagi pemegang ststus visa magang. Status hukum yang berbeda ini berdampak besar pada akses perlindungan ketenagakerjaan yang diterima PMI.

Muhammad Reza Rustam, ahli migrasi Indonesia di Jepang sekaligus dosen di Universitas Indonesia, menjelaskan permasalahan hukum ketenagakerjaan tidak menjadi muatan utama dalam penyiapan candidat pekerja ke Jepang sehingga ini berdampak pada akses perlindungan ketenagakerjaan. “Banyak PMI tidak memahami aturan yang berlaku di Jepang, sehingga rentan terhadap eksploitasi, termasuk pelecehan verbal dan fisik di tempat kerja,” ujar Reza, yang disampaikan pada pertemuan dengan tim analis DPR-RI berkaitan tentang perumusan revisi Undang-undang pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Menurutnya, banyak PMI yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja di Jepang. Mereka juga kerap mengalami kendala dalam mengakses bantuan hukum akibat keterbatasan informasi dan rasa takut kehilangan pekerjaan. “Ketidaktahuan aturan ini menyebabkan mereka enggan melaporkan kasus-kasus eksploitasi, baik dalam bentuk pelecehan verbal, fisik, maupun pelecehan seksual di tempat kerja,” tambahnya.

Dalam rangka membantu PMI menghadapi berbagai tantangan hukum di Jepang, Labor, Mobility, Community, and Development (Labmcomdev), sebuah kluster riset di UI, aktif memberikan sosialisasi hukum kepada para PMI. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap hak-hak ketenagakerjaan dan cara mendapatkan perlindungan hukum di Jepang.
Sosialisasi ini sangat penting mengingat banyak PMI yang berangkat ke Jepang melalui jalur mandiri tanpa mendapatkan bimbingan yang cukup sebelum keberangkatan. Mereka sering kali tidak mendapatkan akses asuransi dan perlindungan ketenagakerjaan yang seharusnya mereka miliki. Akibatnya, ketika menghadapi permasalahan di tempat kerja, mereka cenderung diam dan menyelesaikan masalah sendiri.

Menurut Reza, perbedaan sistem ketenagakerjaan di Indonesia dan Jepang menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kebingungan di kalangan PMI. “Jepang menganggap mereka sebagai pekerja, tetapi di Indonesia, status mereka tetap sebagai peserta magang. Hal ini membuat mereka terjebak dalam ketidakpastian hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, banyak PMI yang mengalami pelecehan verbal dan fisik, tetapi tidak tahu harus melaporkannya ke mana. Selain itu, faktor budaya juga berperan besar. Dalam budaya kerja Jepang, pekerja diharapkan untuk patuh dan tidak menentang aturan perusahaan, sehingga banyak PMI merasa sulit untuk berbicara mengenai kondisi kerja mereka.

Reza yang juga sebagai anggota kluster riset Labmcomdev UI menekankan bahwa pemerintah dan berbagai pihak terkait harus lebih aktif dalam memberikan edukasi kepada PMI sebelum keberangkatan. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak ketenagakerjaan, PMI diharapkan dapat lebih berani melaporkan kasus eksploitasi dan mencari bantuan hukum yang sesuai. Selain itu, kolaborasi antara akademisi dan pemerintah menjadi penting dalam menciptakan sistem yang lebih baik bagi pekerja migran di luar negeri.

Red Irwan



Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Komentar