SUMEDANG, MEDIAPSTRIOT.CO.ID – Sapatapaan, itulah nama kampung wisata berbasis seni budaya sunda. Sapatapaan sendiri akronim dari Saung Paragi Tafakur Kabudayaan.
Tempat wisata yang berlokasi di Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan ini lahir dari kepedulian seorang bernama M. Wasman bersama beberapa komunitas di Sumedang untuk membangun desa dan wilayah dengan memanfaatkan potensi setempat, terutama potensi alamnya.
Sapatapaan merupakan tempat berinteraksinya seniman dan budayawan yang peduli terhadap Sumedang melalui pengembangan seni, budaya, tradisi dan lingkungan, serta membangun simpul-simpul pemberdayaan melalui pengembangan seni, budaya tradisi dan lingkungan. Selain itu sapatapaan merupakan sebuah destinasi wisata yang sarat dengan makna filosofis.
Dalam bincang-bincang santai, M. Wasman mengaku, Sapatapaan lahir dari sebuah kontemplasi tentang alam dan kearifan lokal yang ada dan tumbuh di sekitarnya.
“Kami takjub dengan lutung, surili dan berbagai jenis burung eksotis. Kami juga terpesona dengan sungai jernih, hijaunya pepohonan dan udara segar. Utamanya, kami juga respek terhadap nilai-nilai yang diyakini masyarakat sekitar,” terangnya, Minggu (31/12/2023).
Dengan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal tersebut akhirnya menginspirasi M. Wasman dan kolega untuk melakukan konservasi. Tujuannya, keanekaragaman hayati dan nilai-nilai kearifan lokal bisa tetap lestari.
Selain alasan di atas, menurut M.Wasman, hadirnya Sapatapaan juga terinspirasi dari cerita rakyat setempat yang muncul turun temurun. Menurutnya, dahulu kala ada seorang pertapa bernama Eyang Prabu Heulang Ngambang, nama lain dari Eyang Prabu Borosngora (salah satu tokoh yang erat dengan sejarah raja-raja Sumedang Larang) yang ingin lebih mendekatkan diri dengan alam dan Sang Maha Pencipta guna memperoleh ilmu kesaktian.
“Konon beliau pernah bertapa di bukit sebelah utara Sapatapaan. Tepatnya, Bukit Patapaan,” tukasnya.
Dengan alasan-alasan itu, M. Wasman kembali menegaskan, Sapatapaan tak sekadar sebuah obyek wisata, tapi merupakan ajang aktualisasi tentang membangun keseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Pencipta.
Fasilitas Sapatapaan
Pada kesempatan yang sama, M. Wasman menyampaikan, Sapatapaan memiliki delapan fasilitas utama yang masing-masing diberi nama SARUPA, SASAMA, SARASA, SARIKSA, SABANDA, SABUDAYA, SAGARA ASIH, SAHARITA.
Kedelapan nama fasilitas utama ini bila dirangkai dalam sebuah kalimat akan tercipta sebuah harmoni yang sarat dengan makna filosofis. Yaitu, SARUPAning hirup jeung SASAMA kudu mibanda sifat SARASA, SARIKSA, SABANDA, SABUDAYA, sangkan hirup endah lir SAGARA ASIH, lantaran hirup ukur SAHARITA. (Dalam menjalani kehidupan dengan sesama harus memiliki sifat saling merasakan, saling menjaga, saling melindungi, satu budaya yaitu kebaikan agar hidup terasa indah laksana lautan kasih sayang karena hidup Cuma sementara).
- SARUPA : Sarupa adalah akronim dari Saung Ruwat Sapatapaan. Ruwat mempunyai arti merawat. merupakan salah satu bangunan yang berfungsi sebagai tempat meditasi, tawasulan, pengajian. Bagunan ini dinamakan Sarupa sebagai bentuk rasa syukur dan kepekaan terhadap lingkungan yang kasat mata maupun tidak kasat mata.
- SASAMA : Sasama akronim dari saung asal muasal manusa. Saung asal muasal manusa difungsikan sebagai pancuran tempat berwudhu. Saung ini hadir sebagai pengingat tentang dari mana manusia berasal. Sehingga, ketika berwudhu kemudian beribadah sesuai syariat-NYA, bisa menyadarkan manusia untuk menghapus rasa sombong.
- SARASA : Sarasa adalah akronim dari sasak rasa rumasa manusa. Sarasa adalah salah satu fasilitas di Sapatapaan yang diimplementasikan dalam bentuk Jembatan. Sasak berarti jembatan, rasa rumasa manusa mengandung arti rasa sadar seorang manusia terhadap apa yang akan diperbuat maupun perbuatan yang telah dilakukannya. Jembatan (sasak) adalah sarana yang menghubungkan dua tempat yang berbeda. Diharapkan tempat ini dapat mengingatkan, sesungguhnya manusia sedang meniti jembatan kehidupan di dunia fana untuk menuju kehidupan kekal.
Agar selamat hingga tujuan, dalam melewati jembatan, manusia harus mengikuti tata titi duduga peryoga (seperangkat aturan) yang telah menjadi ketetapan zat yang Maha Kuasa.
- SARIKSA : Sariksa adalah akronim dari Saung Pangriksa. Riksa mengandung arti mengawasi, menjaga. Dengan demikian Saung Pangriksa berarti saung tempat mengawasi, menjaga. Saung ini sebagai pengingat agar sesama umat manusia saling menjaga, mengawasi dan mengingatkan dalam hal kebaikan
- SABANDA : Sabanda adalah akronim dari Saung Sabanda. Banda mengandung arti kepunyaan atau harta. Sabanda secara harfiah berarti harta bersama-sama. Saung ini tidak hanya mengingatkan si pemilik harta (banda) yang berkewajiban menjaga, tapi pihak lain pun diharapkan turut menjag pula. Minimal tidak mengganggu dan merusak. Pun, sebaliknya.
Sabanda bukan berarti turut memiliki. Tapi, sebagai bentuk kepedulian, kepekaan dan rasa hormat terhadap harta (banda) milik orang lain. Sehingga akan tercipta rasa saling menjaga dan melindungi antar sesama. Sabanda dimplementasikan dalam bangunan yang difungsikan sebagai homestay, rumah adat sunda.
- SABUDAYA : Sabudaya adalah akronim Saung Sabudaya. Sabudaya mengandung arti satu budaya. Yaitu, dalam setiap budaya di belahan dunia manapun terkandung nilai-nilai kebaikan dan keindahan. Sabudaya diharapkan dapat mengingatkan pihak yang berbeda-beda budaya dan latar belakang agar tetap menjaga nilai-nilai kebaikan dan keindahan, sehingga tercipta harmonisasi dalam kehidupan antar sesama. Sabudaya diimplementasikan dalam bentuk bangunan Sekretariat Komunitas Sapatapaan dan Art Gallery.
- SAGARA ASIH : Sagara Asih mengandung arti lautan kasih sayang yang identik dengan segala bentuk keindahan. Pun dalam kehidupan, kasih sayang harus menjadi roh dalam segenap aktifitas agar terjadi harmoni meski berbeda. Sagara asih diimplementasikan dalam bentuk Kolam indah dan instagramable.
- SAHARITA : Saharita adalah akronim dari Saung Hariwang Keuna Supata. Hariwang (takut-khawatir) keuna (kena) Supata (hukuman-kutukan). Fasilitas ini diimplementasikan dalam bentuk sebuah Mushola. Saung ini diharapkan mampu mengingatkan manusia agar tidak kena hukuman akibat melanggar segala ketentuan-NYA. Maka, segeralah bertaubat, dan tetap konsisten melaksanakan kewajiban selaku umat-NYA.