Jakarta – MPI, Webinar bertema “Raperpres Pelibatan TNI Dalam Kontra Terorisme” diadakan oleh MARAPI Consulting & Advisory bekerjasama dengan PRODI Hubungan Internasional, FISIP UPN Veteran Yogyakarta pada senen 30 November 2020.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia M Choirul Anam mengatakan di dalam webinar itu bahwa Raperpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme berpotensi tumpang tindih terutama dalam aspek penangkalan.
Anam menegaskan akuntabilitas adalah prinsip dan roh utama UU5/2018 namun Raperpres dimaksud bertentangan dengan UU5/2018 yang merupakan peraturan induk utamanya karena tidak ada mekanisme akuntabilitas dan kepastian hukum di aspek penangkalannya.
Terkait hal tersebut kata Anam, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kepada presiden sebagai berikut:
Pertama, menarik Raperpres dimaksud dari DPR atau tidak melaksanakan pembahasan dan penandatangan sebelum ada kebijakan yang jelas berdasarkan prinsip negara hukum dan norma HAM;
Kedua, memastikan bahwa Raperpres dimaksud melandaskan pada konsep criminal justice system;
Ketiga, memastikan bahwa pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme sepenuhnya hanya didasarkan pada APBN untuk menjaga profesionalisme;
Keempat, menekankan setiap upaya dalam penanganan terorisme baik legislatif, penegakan hukum dan penganggaran senantiasa didasarkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan menjunjung tinggi HAM; dan
Kelima, memastikan adanya pengawasan internal dan eksternal yang akuntabel dan pertanggungjawaban hukum jika adanya pelanggaran.
Sedangkan rekomendasi Komnas HAM kepada DPR RI sebagai berikut:
Pertama, mempertimbangkan dan menjadikan UU5/2018 sebagai dasar dalam pembahasan Raperpres dimaksud;
Kedua, menjadikan pengaturan mengenai perbantuan, kebijakan dan keputusan politik negara, penganggaran dalam APBN menjadi koridor dalam pembahasan Raperpres dimaksud;
Ketiga, menekankan pada fokus pembahasan pelibatan militer dalam Raperpres dimaksud hanya fokus pada penindakan semata dengan batasan yang jelas, tingkat ancaman, dan bilamana fungsi Kepolisian tidak dapat mengendalikan, sehingga tidak meluas mulai dari penangkalan, penindakan dan pemulihan; dan
Keempat, memastikan bahwa Raperpres dimaksud selaras dengan tatanan criminal justice system dan sesuai dengan tata hukum yang berlaku terutama UU5/2018, UU34/2004, dan regulasi lain yang lebih tinggi.
Anam menambahkan seharusnya Raperpres dimaksud hanya mengatur skala eskalasi saja untuk menentukan kapan perbantuan TNI diperlukan, sedangkan untuk aturan teknis perbantuannya diperlukan UU Perbantuan TNI kepada otoritas sipil untuk mengatur pengerahan kekuatan dalam konteks operasi militer selain perang.
Anam juga menegaskan bahwa demi keamanan dan keselamatan publik, prinsip-prinsip HAM boleh dikesampingkan namun harus ada tata cara dan aturan yang jelas sehingga ada kepastian prosedur dan hukum dalam pelaksanaannya.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen (Purn) Drs Ansyaad Mbai menyatakan bahwa penyebab terorisme itu multi-faktor sehingga dibutuhkan sebuah whole of government approach untuk dapat mengatasinya
“Di mana tiap instansi dan lembaga pemerintahan memiliki peran dan tugasnya masing-masing sesuai tugas pokok dan fungsinya,” ujarnya.
Ansyaad juga menegaskan bahwa pendekatan terbaik dalam penanganan terorisme adalah pendekatan melalui sistem peradilan kriminal sehingga kepolisian menjadi ujung tombak kontra terorisme.
Dia tambahkan, bahwa TNI memiliki peran penting dalam kontra terorisme sebagai perbantuan jika upaya-upaya penegakan hukum sudah tidak berdaya lagi menghadapi ancaman terorisme.
“Peran itu sesuai dengan amanat UU5/2018 dan UU34/2004 yang menegaskan bahwa perbantuan TNI dalam kontra terorisme haruslah melalui sebuah keputusan politik berbentuk perintah presiden dengan persetujuan DPR,” sebutnya.
Oleh karna itu Ansyaad mengingatkan bahwa prinsip tersebut sudah menjadi bagian dari prinsip berdemokrasi dan supremasi sipil sehingga harus ditaati.
“Bahwa salah satu tujuan aksi terorisme adalah memancing respon yang keras dari negara sehingga dapat dijadikan pembenaran tujuan aksi terorisme itu sendiri,” jelasnya.
Ansyaad mengibaratkan terorisme sebagai seekor kucing yang dapat berubah menjadi harimau jika respon negara terlalu berlebihan melalui aksi militer.
Sementara itu, Pengajar Hubungan Internasional FISIP UPNYK Saptopo Ilkodar menyebutkan bahwa ada perdebatan ideologis antara human security dan state security dalam membahas pelibatan TNI dalam kontraterorisme.
Menurutnya, bahwa dalam mengambil keputusan soal langkah yang akan ditempuh harus mempertimbangkan sejarah kebangsaan, realitas geografi dan sosial budaya, pergaulan internasional, perkembangan jaman, dan yang terpenting pemahaman bahwa langkah yang akan diambil harus dipertimbangkan dengan matang karena semua pilihan memiliki resiko dan konsekuensinya.
Saptopo juga mengingatkan bahwa dibutuhkan moderasi sikap dari semua pihak agar pembahasan Raperpres dimaksud bisa mencapai suatu kesepakatan.
Saptopo menegaskan bahwa tanpa trust tidak akan ada demokrasi sehingga sangatlah penting agar semua pihak bisa memiliki trust pada yang lainnya.
Selanjutnya, Peneliti dan aktivis Marapi Beni Sukadis, MSos menyatakan bahwa dalam supremasi sipil ada pemisahan yang jelas antara otoritas politik dan otoritas pelaksana di mana militer harus tunduk pada supremasi sipil.
“Pejabat sipil terpilih adalah pengemban tanggungjawab membuat kebijakan dan keputusan mengenai keamanan,” pungkasnya
Beni menyebut, amanat UU34/2004 menegaskan bahwa TNI menjalankan tugasnya sesuai kebijakan dan keputusan politik negara sehingga dalam melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) keterlibatan TNI merupakan perbantuan dan bukan tugas pokok.
“Hukum yang berlaku juga menegaskan bahwa penanganan terorisme menggunakan pendekatan pidana dan bukan perang,” ujarnya.
Beni menambahkan bahwa fungsi penangkalan TNI dalam keterlibatannya dalam kontra terorisme adalah rancu dan berpotensi bertabrakan dengan upaya penegakan hukum oleh institusi-institusi penegakan hukum sipil yang ada. (Irwan)