Haltim, mediapatriot.co.id – Pemilik IUP PT Adita Nikel Indonesia (ANI), Burhanudin L. Djaelani, mengungkapkan permasalahan serius terkait kerjasama dengan PT Supreme Nikel Indonesia (SNI), yang menurutnya gagal memenuhi kontrak kerja pertambangan bijih nikel di wilayah IUP PT ANI di Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur. Jumat/18/09/24
Dalam perjanjian kontrak, PT ANI memberikan tanggung jawab kepada PT SNI untuk melakukan operasi produksi dan penambangan bijih nikel sebanyak minimal 1.000.000 metrik ton per tahun. Namun, Burhanudin mengungkapkan bahwa PT SNI hanya mampu menghasilkan sekitar 52.000 metrik ton, atau setara dengan 7 tongkang, dalam satu tahun.
“Tidak hanya gagal memenuhi target produksi, PT SNI juga tidak memberikan laporan mingguan maupun bulanan sebagaimana disepakati dalam kontrak. Ini berlangsung selama hampir tiga tahun tanpa komunikasi yang jelas dari pihak mereka,” tegas Burhanudin.
Selain itu, Burhanudin menyoroti masalah royalti yang belum diterima PT ANI, meski PT SNI sudah menjual 7 tongkang tersebut. “Menurut kontrak, royalti sebesar $6 per metrik ton seharusnya dibayarkan kepada kami setelah nikel terjual, namun hingga saat ini, kami belum menerima sepersen pun,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Burhanudin menambahkan bahwa PT SNI tidak membayar kontribusi pembangunan daerah (KPD) yang menjadi kewajiban mereka, sehingga PT ANI harus menanggungnya. “Sebagai putra daerah, saya malu kepada pemerintah setempat. Saya sudah membayar cicil Rp100 juta untuk KPD, padahal ini tanggung jawab PT SNI sebagai pihak yang menjual nikel ore,” kata Burhanudin.
Burhanudin juga mengungkapkan bahwa PT SNI justru merusak fasilitas jeti milik PT ANI, yang merupakan bagian dari investasi besar PT ANI dan PT Minerina Bakti (anak perusahaan PT Antam) sejak 2010 s.d 2014 dengan total nilai investasi mencapai Rp98 miliar. Menurutnya, tuduhan bahwa PT ANI mencuri barang PT SNI di lokasi tambang adalah tidak berdasar. “Bagaimana mungkin kami mencuri barang milik kami sendiri? Barang yang ada di IUP adalah hak PT ANI hingga royalti kami dibayar,” tambah Burhanudin.
Menyikapi hal ini, PT ANI telah mengirimkan surat pengakhiran kerjasama kepada PT SNI, namun upaya PT SNI untuk mengajukan adendum ditolak oleh PT ANI. Burhanudin menegaskan, “Saya sudah tidak ingin berurusan lagi dengan mereka. Mereka tidak jujur dan bekerja di luar isi kontrak.”
PT ANI kini menuntut ganti rugi sebesar Rp6 miliar atas kerusakan Fasilitas Jety yang dirusak oleh PT SNI, namun hingga saat ini belum ada pembayaran dari pihak PT SNI. “Ini adalah masalah serius, dan kami berharap pihak-pihak yang memberitakan isu tidak benar tentang PT ANI untuk segera menarik kembali laporan mereka,” tutup Burhanudin.