Kabupaten Bogor, MPN
Pemerintahan zaman Orde Baru (Orba) yang sempat membuat kebijakan untuk melebur seluruh organisasi advokat menjadi satu wadah tunggal, pada akhirnya menuai sorotan dari sejumlah advokat di Tanah Air. Pemerintah pada masa itu justru dinilai tidak konsisten dengan kebijakan menyatukan organisasi advokat.
“Karena saat itu ternyata terdapat organisasi lainnya yang terbentuk pada masa itu, seperti IPHI dan HAPI,” ungkap Edison, SH selaku advokat senior dan Tholib S Hidayat, SH selaku Managing Partner Kantor Hukum Ether di Komplek Ruko Cileungsi Hijau, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, belum lama ini.
Pernyataan yang disampaikan Edison ini mengutip dari buku saku berjudul Sejarah Advokat Indonesia dan Tokoh-Tokohnya dalam Memperjuangkan Rule of Law yang ditulis oleh Prof Dr Frans H Winarta, SH, MH.
Pemerintah Orba, kata Edison, memfasilitasi dua seminar di Jakarta dengan peserta IKADIN, AAI, dan IPHI. Tujuannya untuk penyatuan kode etik. Dalam seminar itu, lanjutnya, dicapai kesepakatan akan satu kode etik bersama. Pada saat yang sama dibentuk juga Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI).
Edison menambahkan, pada tahun 2002, FKAI sepakat membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Komite ini terdiri dari IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI dan HKHMP. Disepakati pula suatu program segera bersama dengan Mahkamah Agung, yaitu terdiri dari menyelenggarakan Ujian Advokat dan membuat Kode Etik Advokat Indonesia, dan mendesak mengesahkan rancangan Undang-Undang Advokat. Ketua Mahkamah Agung waktu itu adalah Prof. Dr. Bagir Manan.
KKAI masih tetap eksis: dengan maksud dan tujuan untuk mengemban maksud Pasal 32 ayat 3 UU Advokat yang berbunyi “Untuk sementara tugas dan wewenang organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAD), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHD), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSD).”
“Berdasarkan fakta yang terjadi saat itu, 8 organisasi advokat secara inisiatif berkumpul dan pada 21 Desember 2004 dideklarasikan terbentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi. Pada perkembangannya keabsahan lahirnya Peradi dipertanyakan karena pembentukan Peradi tidak melalui kongres nasional yang terbuka yang dihadiri oleh para advokat untuk memilih pengurusnya melalui one man one vote dimana hal tersebut juga sangat ditentang oleh Alm. Prof. Dr. H. Adnan Buyung Nasution,” ulas Edison.
Pada tanggal 5 April 2003 jelas Edison, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengamanatkan pembentukan organisasi tunggal advokat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 UU Advokat: yang menyebutkan “Organisasi Advokat merupakan satu-satunva wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”.
Tetapi, Edison menegaskan, nama organisasi Peradi tidak tercantum didalam Undang-Undang Advokat, beda dengan Nederlanse Orde van Advocaten (Nova) yang tercantum sebagai nama organisasi yang dimuat dalam Advocaten Wer. “Kemudian Pasal 32 ayat (4) dalam ketentuan peralihannya menyatakan bahwa organisasi advokat tersebut paling lambat terbentuk pada tahun 2005 atau dalam waktu paling lambat 2 tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk,” ujarnya.
Edison menyatakan pembentukan organisasi advokat saat ini seharusnya dilakukan dengan cara one man one vote yang harus ditentukan oleh para advokat dalam Musyawarah Nasional. “Saat ini kita harus menentukan wadah organisasi apa yang cocok dengan budaya kita, mau menggunakan sistem single bar atau multi bar,” tegasnya.
“Serta kita harus menentukan pengawasan advokat ada dibawah organisasi advokat, seperti di Inggris dan Belanda atau dibawah kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya sesuai dengan Undang-Undang 1945 Pasal 24 seperti dulu atau kekuasaan kehakiman termasuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Edison.
“Konsep penunjukan pengurus organisasi profesi advokat menurut Article 17 /BA Standards or the Independence of the Legal Profession yang dibentuk pada tahun 1990, harus dilakukan melalui suatu pemilihan oleh para anggotanya dan tidak boleh ada campur tangan dari luar, sehingga organisasi profesi itu bisa dianggap sebagai independen karena menganut prinsip self-governing, selain itu advokat mempunyai hak untuk menjadi anggota lebih dari satu organisasi advokat. Independensi merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki oleh advokat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Van Der Laken,” pungkas Edison. (Mul)
Komentar