2 Point Maut Temuan BPK RI Atas APBD Baubau 2019, Indikasi Kerugian Negara 59,4 Milyar (Berita MPI)

BAUBAU, SULAWESI TENGGARA_Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD) Kota Baubau TA 2019 dikembalikan kepada Pemkot Baubau oleh Banggar DPRD Kota Baubau, Rabu (26/08), pada rapat kerja Banggar.

Dikembalikannya Raperda tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil evaluasi Gubernur Sultra atas Raperda tentang LPJ APBD Baubau TA 2019 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tak hanya itu, Pemkot Baubau juga diberikan tenggat waktu 60 hari untuk menyelesaikan segala hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sultra nomor 361 Tahun 2020.

Pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), ada beberapa temuan yang ditemukan oleh BPK RI pada APBD Baubau TA 2019. Temuan-temuan tersebut dimuktabkan pada dua point penting.

Yakni (1) temuan yang berkaitan dengan sistem pengendalian internal, dan (2) temuan berkaitan dengan adanya ketidakpatuhan dalam pengujian kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Pada temuan yang berkaitan dengan sistem pengendalian internal ada delapan temuan yang dilaporkan.

Yaitu (a) Sistem Pengendalian Intern Level Entitas pada Pemkot Baubau TA 2019 Belum Sepenuhnya Disusun dan Dilaksanakan; (b) Pengelolaan belanja daerah pada bendahara pengeluaran belum memadai; (c) Penatausahaan piutang pajak daerah belum memadai; (d) Penatausahaan piutang retribusi daerah belum memadai; (e) Penatausahaan aset tetap belum memadai; (f) Utang PFK bendahara umum daerah belum didukung rincian; (g) Pengelolaan retribusi pemakaian kekayaan daerah Rusunawa-Mahasiswa Lipu tidak tertib; (h) Realisasi pengeluaran pada OPD Pemkot TA 2019 Sebesar Rp8.135.947.905,65 tidak sesuai klarifikasi yang sebenarnya.
Sedangkan pada temuan berkaitan dengan adanya ketidakpatuhan dalam pengujian kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, BPK menguraikan 6 temuan.
Yakni (a) Perubahan APBD TA 2019 tidak ditetapkan melalui peraturan daerah; (b) Pajak atas belanja barang dan jasa oleh bendahara pengeluaran belum dipungut dan/atau disetor ke kas negara/Kas Daerah senilai Rp32.386.439; (c) Pendapatan retribusi daerah terlambat disetor ke kas daerah; (d) Realisasi belanja perjalanan dinas dan jasa profesi pada 23 OPD tidak sesuai ketentuan; (e) Pengadaan Aplikasi Amalku pada 38 Kelurahan melalui belanja jasa tidak tepat; (f) Kekurangan volume pekerjaan fisik pada empat OPD senilai Rp1.208.463.279.
Ketua Bidang Advokasi Koalisi Advokasi Kebijakan Publik (KAKP) Sultra, LM Isa Anshari, kepada awak media ini, Kamis (27/08), mengungkapkan hasil temuan BPK RI pada point 1 merupakan wilayah atas suatu batasan wewenang.
“Dimana fungsi DPRD, Wakil Kepala Daerah dan Kepala Daerah tidak berjalan sesuai sistem yang diamanatkan oleh kostitusi,” ucapnya.
Dan pada point 2 berkaitan dengan ditemukan adanya realisasi anggaran yang kemudian tidak terdapat atau tidak dianggarkan pada perubahan anggaran. Inilah hal yang paling fatal karena bertentangan dengan UU nomor 1, UU nomor 17, PP nomor 12 dan Permendagri nomor 13.
“Realisasi anggaran yang tidak terdapat atau tidak dianggarkan pada perubahan anggaran itu bertentangan dengan UU nomor 1, UU nomor 17, PP nomor 12 dan Permendagri nomor 13. Yang pada pokoknya semuanya mengatakan bahwa setiap pejabat dilarang mengeluarkan anggaran yang tidak tersedia anggarannya atau pun tidak cukup tersedia anggarannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Isa, sapaa akrabnya, mengatakan berdasarkan Permendagri nomor 13 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah itu sudah dijelaskan bahwa Dokumen Pelaksanaan Aggaran (DPA) adalah batas ambang tertinggi didalam pelaksanaan anggaran.
“Nah, atas realisasi lebih inilah yang KAKP justifikasikan sebagai indikasi kerugian keuangan negara. Realisasi lebih ataupun terhadap anggaran yang tidak dialokasikan itu hampir terjadi di semua OPD. Berdasarkan identifikasi KAKP senilai Rp59,4 Milyar diluar anggaran untuk Kecamatan dan Kelurahan. Namun, bila ditambahkan dengan anggaran kedua komponen tersebut kelebihan realisasi anggaran bisa mencapai hingga Rp78 Milyar,” lanjutnya.
Ia menambahkan pada transfer tambahan DAU untuk Kelurahan tidak pernah dialokasikan oleh Tim Perencaan Anggaran Daerah (TPAD). Namun, ada dana dari pusat untuk tambahan dana anggaran kelurahan sebesar Rp16,4 Milyar yang direalisasikan tanpa adanya dokumen perencanaan.
“Saya kurang tahu mengapa tanpa perencanaan anggaran tapi tetap direalisasikan. Tapi karena ada tuntutan UU, dana transfer tersebut harus dialokasikan,” tambahnya.
Menyikapi hal tersebut, KAKP Sultra kemudian melaporkan dugaan kasus penyalahgunaan anggaran.
“KAKP menyebut dugaan kasus ini sebagai Skandal DPA Bodong. Dimana DPA APBD Baubau 2019 ini tidak ditetapkan sebagai Perda namun sudah pada tahap transaksi (realisasi),” tutupnya.(dewi)


Posting Terkait

Jangan Lewatkan