Prospek Ekonomi Indonesia 2022: Bersiap-siap untuk lepas landas

Photo credit: Unsplash

Situasi pandemi yang terkendali dan peluncuran vaksinasi sesuai target diharapkan dapat mempercepat normalisasi kegiatan ekonomi pada 2022

  • DBS Group Research melihat empat faktor yang perlu menjadi perhatian pada 2022, yaitu i) dinamika pertumbuhan dan inflasi, ii) normalisasi kebijakan, (iii) penyangga eksternal, dan (iv) katalis jangka menengah

  • Dengan mengecualikan guncangan akibat varian Covid Omicron dan pengetatan moneter Amerika Serikat (AS) yang agresif, DBS Group Research memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tetap di kisaran 14.000-15.000 pada 2022 dan 2023

  • Bank Sentral AS yang lebih agresif dan pandemi COVID-19 yang berlanjut akan menjadi tantangan

EKONOMI

MediaPATRIOT – Jakarta, 27 Desember 2021 – DBS Group Research menyoroti empat faktor yang harus diperhatikan pada 2022 a) momentum pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi  tahun depan, dan demikian pula halnya dengan inflasi; b) kebijakan fiskal dan moneter berada di jalur tepat untuk secara bertahap mengendurkan bias akomodatifnya; c) walau sudah kuat dan tersangga dengan baik, keseimbangan eksternal kemungkinan akan lebih baik; dan d) fokus pada sektor komoditas hilir dan infrastruktur.

  • Pertumbuhan ekonomi akan  meningkat pada 2022, demikian pula halnya dengan inflasi

Memasuki 2022, dengan asumsi situasi COVID terkendali akan membuka peluang untuk normalisasi lebih lanjut dalam pengeluaran non esensial, peningkatan lapangan pekerjaan, produksi, dan pertumbuhan investasi. Dengan asumsi normalisasi kegiatan, yang diharapkan berbarengan dengan percepatan permintaan domestik, kami mematok perkiraan PDB 2022 sebesar 4,8%, naik dari perkiraan tahun ini, yang sebesar 3,6%. Total inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2021 kemungkinan rendah, rata-rata sebesar 1,5%, di bawah target bank sentral. Ini  disebabkan oleh peningkatan harga akibat harga komoditas tinggi yang belum terefleksi secara keseluruhan dan diimbangi dengan harga makanan dan jasa yang terkendali serta permintaan yang masih di bawah normal. Kenaikan inflasi tahun depan akan ditentukan oleh banyak faktor. Kami memperkirakan inflasi 2022 rata-rata sebesar 3% walau masih dalam target BI, yang sebesar 2%-4%.

  • Kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif perlahan-lahan akan dikurangi

Kebijakan moneter – suku bunga telah mencapai titik terendah

Pemerintah serta pengambil kebijakan kemungkinan akan memantau perkembangan dan mempertahankan aset domestik dari dampak perubahan kebijakan global. Perkiraan kami lebih condong ke jalur konservatif, yaitu kenaikan sebesar 25bp pada akhir 2022, kemudian sebesar 75bps pada 2023, untuk mempertahankan nilai tukar dan memastikan stabilitas keuangan. Namun demikian, apabila Bank Sentral AS lebih agresif maka BI mungkin akan meningkatkan suku bunga acuannya 25bp lebih besar dari skenario dasar kami pada paruh ke-2 2022.

Konsolidasi fiskal tetap berada di jalur yang tepat

Neraca fiskal membaik berkat perolehan non-pajak yang kuat, penghasilan tak terduga dari pajak, dan laju pengeluaran yang bertahap. Kami melihat potensi pengurangan defisit fiskal 2022 sebesar 50bp dari perkiraan kami, yang sebesar -4,5% dari PDB. Ada kemungkinan defisit dapat kembali ke batas sebelumnya, sebesar 3% dari PDB, pada 2023. Lembaga pemeringkat optimistis tentang kesehatan fiskal Indonesia mengingat rekam jejaknya, yang positif.

  • Penyangga eksternal akan terus diperkuat

Dibandingkan dengan taper tantrum AS pada 2013 dan gejolak yang diakibatkannya, keseimbangan eksternal Indonesia kali ini berada dalam kondisi lebih baik. Pertama, posisi neraca berjalan tetap terjaga dengan baik berkat perolehan yang kuat, yang didorong oleh komoditas di sektor perdagangan, yang telah membantu mengatasi penurunan penerimaan dari sektor pariwisata. Kedua, cadangan devisa berada di rekor tertinggi, membuat cadangan devisa untuk pembiayaan impor lebih tinggi dari ketentuan, yang sebesar tiga bulan impor, melebihi utang luar negeri jangka pendek dan diberi peringkat memadai di metrik ARA IMF. Ketiga, pergeseran kepemilikan obligasi pemerintah yang belum lunas dapat dianggap sebagai perkembangan positif.

  • Dua katalis di luar prioritas mendesak

Di luar prioritas mendesak, dua bidang kemungkinan akan menjadi fokus dalam beberapa tahun ke depan:

Perluasan sektor komoditas hilir

Untuk meningkatkan manfaat karena Indonesia memiliki cadangan mineral dan juga sebagai eksportir terbesar dunia dalam berbagai komoditas termasuk bijih nikel, timah, tembaga, emas, dan minyak kelapa sawit, pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan nilai tambah dalam mata rantai produksi dengan memperluas kehadiran dalam industri hilir dalam dasawarsa terakhir. Strategi ini sedang dihidupkan kembali, dengan otoritas mengisyaratkan penghentian ekspor sebagian besar komoditas mentah dan mendorong investasi ke industri pengolahan sumber daya dalam negeri.

Mempercepat pembangunan infrastruktur

Pembangunan infrastruktur kemungkinan akan tetap menjadi prioritas, terlepas dari jalur konsolidasi fiskal yang lebih luas. Pengeluaran fiskal untuk infrastruktur diperkirakan berkurang menjadi Rp366 triliun pada tahun depan dari yang dianggarkan pada tahun ini, sebesar Rp417 triliun, tetapi alokasi lebih besar telah disalurkan ke perusahaan milik negara yang beroperasi di sektor ini, yang akan memperkuat neraca mereka, selain meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan. Posisi pendapatan lebih kuat dapat membantu pemerintah meningkatkan alokasi untuk tujuan ini sepanjang 2022.

MATA UANG

Dengan mengecualikan guncangan akibat varian Covid Omicron dan pengetatan moneter AS yang lebih agresif, kami memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tetap di kisaran 14000-15000 pada 2022 dan 2023. Pada 2022, kami memperkirakan dolar AS akan kuat secara global setelah kenaikan suku bunga Bank Sentral AS sebanyak dua kali, yang kami perkirakan akan terjadi pada triwulan ke-4 2022. Namun, kenaikan suku bunga BI sebanyak tiga kali antara triwulan ke-4 2022 dan triwulan ke-2 2023 seharusnya meredam tekanan depresiasi terhadap rupiah.

SUKU BUNGA

Akan ada peningkatan gejolak nilai tukar rupiah pada paruh pertama 2022. Peluang untuk menjaga agar pengaturan kebijakan tetap longgar mengecil. Bank Sentral AS dapat mengakhiri program QE-nya pada triwulan 1 dan mulai menaikkan suku bunga acuannya pada pertengahan 2022. Jika ini terjadi, perbedaan antara kebijakan BI dan Bank Sentral AS dapat mengakibatkan gejolak. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa BI kemungkinan akan memainkan peran lebih kecil dalam menekan suku bunga/imbal hasil rupiah. Kami berpendapat bahwa kelebihan likuiditas mungkin telah mencapai puncaknya karena investor memperhitungkan kemungkinan Bank Sentral AS menjadi lebih agresif. Ekspektasi kenaikan BI pada paruh kedua 2022 juga akan mulai muncul menjelang kurva IndoGB.

Untuk membaca laporan lengkapnya, klik di sini untuk mengunduh PDF

(red Irwan)



Posting Terkait

Jangan Lewatkan