Kehidupan Petani Tembakau dan Analisis Ekonomi Usaha Tani Tembakau di Tengah Upaya Pengendalian Tembakau di Indonesia

Mediapatriot – Jakarta, 23 September 2020 – Hari ini, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan hasil studi kualitatif kehidupan petani Tembakau di Indonesia di tengah upaya pengendalian tembakau, dibarengi dengan peluncuran hasil studi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bersama American Cancer Society, Australia National University, dan McGill University mengenai analisis ekonomi usaha tani tembakau di Indonesia. Kedua penelitian dilakukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Kedua studi menemukan beberapa kemiripan dalam temuan penting mereka salah satunya kehidupan petani tembakau di lapangan yang belum sejahtera. Hasil temuan ini dapat digunakan sebagai bukti ilmiah dan rujukan bagi pemangku kebijakan, akademisi, aktivis di bidang pengendalian tembakau dan kemanusiaan, serta masyarakat pada umumnya.

Tembakau dan produk turunannya memberikan beban ekonomi khususnya kepada sistem kesehatan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) pada usia lebih dari 15 tahun di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 62,9% (laki-laki) dan 4,8% (perempuan). Sedangkan prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun terus mengalami peningkatan yaitu 7,2% pada tahun 2013 dan meningkat hingga 9,1% pada tahun 2018. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rokok konsisten menyumbang kemiskinan terbesar kedua setelah beras pada masyarakat perkotaan (11,07%) maupun perdesaan (10,21%). Industri tembakau terus menyampaikan naratif yang mengedepankan pentingnya produk tembakau dalam suatu perekonomian. Salah satu narasi mereka adalah kebijakan pengendalian tembakau berdampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja di sektor tembakau, khususnya petani tembakau. Di sisi lain, berbagai studi secara konsisten menunjukkan bahwa petani tembakau mendapatkan keuntungan yang kecil dan bahkan merugi di beberapa konteks.

PKJS-UI secara terpisah dengan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bersama American Cancer Society (ACS), Australia National University (ANU), dan McGill University melakukan penelusuran terhadap rumah tangga petani tembakau dan mantan petani tembakau di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Studi PKJS-UI merupakan studi kualitatif dengan pemilihan lokasi wilayah secara purposive berdasarkan luas area lahan, jumlah petani, dan alokasi DBHCHT. Sedangkan Data dikumpulkan UGM-ACS, ANU, McGill University dengan menggunakan survei rumah tangga dan diskusi kelompok terarah bersama para petani dan pemangku kepentingan lainnya, yang dikombinasikan dengan kajian komprehensif terhadap berbagai dokumen dan data statistik resmi.

Studi PKJS-UI bertujuan untuk menganalisis kehidupan petani tembakau di tengah upaya pengendalian konsumsi rokok. Studi UGM-ACS, ANU, McGill University melakukan survei pertanian tembakau pada 2 gelombang, yaitu gelombang 1 musim tani 2016 (Oktober s.d. Desember 2016) dan gelombang 2 musim tani 2017 (Desember 2017 s.d. Januari 2018). Gelombang survei dalam penelitian ini bertepatan dengan tahun yang buruk untuk pertanian secara keseluruhan (gelombang 1) dan tahun yang baik untuk pertanian secara keseluruhan (gelombang 2) di Indonesia Studi PKJS-UI menunjukkan bahwa menjual tembakau kering dibutuhkan modal yang lebih tinggi dan proses yang lebih lama, sehingga sebagian petani memilih menjual tembakau basah meski harga jauh lebih murah. Selain itu sebagian besar informan juga khawatir jika menyimpan tembakau mereka terlalu lama, maka tidak akan ada yang membeli. Oleh karena itu, informan menjual tembakau sesegera mungkin meski harga yang ditawarkan murah. Namun sebagian informan mengaku lebih senang menanam tanaman lain selain tembakau karena modal yang diperlukan sedikit.

Konsisten dengan temuan UGM-ACS, ANU, McGill University, biaya input per hektar untuk budidaya tembakau di Indonesia biasanya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebagian besar budidaya tanaman lainnya. Pada gelombang 2, median biaya input per hektar untuk menanam tembakau di atas Rp 5.700.000, jauh lebih tinggi daripada median biaya input per hektar untuk membudidayakan tanaman lainnya yaitu sebesar Rp 921.000. Tembakau adalah tanaman yang sangat bergantung pada cuaca. Jika hujan, maka tembakau akan rusak. Petani tembakau menghadapi dilakukan upaya adaptasi dan mitigasi. Petani mitra pada penelitian PKJS-UI menjual tembakau langsung ke gudang perusahaan. Meski demikian, petani mitra tersebut mengaku pernah ditekan oleh perusahaan untuk menanam di bulan tertentu dimana kondisi cuaca tidak mendukung, sehingga tembakau rusak dan mengalami kerugian. Studi UGM-ACS, ANU, McGill University juga menemukan bahwa tanaman non-tembakau berkinerja jauh lebih baik daripada tembakau pada gelombang 1, yaitu tahun yang secara keseluruhan lebih buruk untuk pertanian. Dalam studi ini, penanaman tembakau selama satu tahun pertanian yang baik (gelombang 2) tidak dapat menutupi tahun sebelumnya yang penuh tantangan (gelombang 1). Estimasi median pendapatan per hektar di kedua gelombang menunjukkan bahwa kondisi para petani non-tembakau secara keseluruhan lebih baik karena kinerja dari tanaman lainnya yang lebih konsisten, bahkan pada tahun yang buruk untuk pertanian. Selain faktor cuaca, petani terjebak dalam tataniaga yang bersifat oligopsonistik sehingga tidak memiliki daya tawar maupun menentukan kategori kualitas dan harga tembakau yang diproduksi. Sistem ini belum berpihak pada kesejahteraan petani. Seluruh petani swadaya/mandiri pada penelitian PKJS-UI menjual tembakau kepada tengkulak atau bandul (perantara). Harga dan kualitas tembakau ditentukan oleh tengkulak. Petani memiliki daya tawar yang rendah termasuk dalam penentuan kualitas tembakau yang ia tanam. Seluruh informan mengeluhkan rendahnya harga tembakau yang sering ditawar oleh tengkulak, namun mereka tetap menjualnya karena khawatir tidak laku.

Studi UGM-ACS, ANU, McGill University juga menunjukkan bahwa tingginya harga tembakau sangat bergantung pada pembeli daun yang memiliki kendali sangat kuat terhadap pasar. Selama dua tahun penelitian, median pendapatan petani non-tembakau secara signifikan lebih baik daripada petani mereka yang menanam tembakau. Suci Puspita Ratih, MPH selaku Peneliti PKJS-UI mengemukakan bahwa jumlah tembakau impor juga semakin tinggi di Indonesia, yang pada akhirnya membuat kesejahteraan petani tembakau lokal dipertanyakan. Produksi dan produktivitas petani tembakau diperkirakan tidak mengalami kenaikan yang signifikan antara tahun 2018- 2020. Sedangkan pertumbuhan produksi dan produktivitas tembakau dari tahun 2017-2018 sebesar 7,92% dan 6,36% berturut-turut. “Impor tembakau juga perlu dikendalikan karena serapan tembakau virginia lokal juga masih rendah ke perusahaan. Petani harus diberi pembinaan agar kualitas tembakau mereka setara atau lebih baik dari tembakau impor, sehingga serapan tembakau lokal ke perusahaan meningkat.” Tambahnya.

Secara umum, kondisi ekonomi petani akan lebih baik jika membudidayakan tanaman non-tembakau atau melakukan kegiatan ekonomi di luar pertanian. “Sejumlah petani tembakau mempertimbangkan untuk beralih karena harga yang rendah, sebagian karena merasa penilaian mutu yang tidak adil serta cuaca yang tidak menguntungkan. Setelah mengalami kerugian ketika menanam tembakau, petani yang beralih ke tanaman non-tembakau biasanya memperoleh keuntungan” jelas Gumilang Aryo Sahadewo, Ph.D, salah satu peneliti UGM-ACS, ANU, McGill University. Selama ini tembakau paling banyak diolah menjadi rokok, dimana rokok merupakan produk berbahaya. Perilaku merokok diketahui berdampak negatif pada kesehatan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Kenaikan cukai produk tembakau akan menaikkan harga rokok, sehingga rokok menjadi tidak terjangkau bagi anak-anak, remaja, dan masyarakat miskin. Selain itu, kenaikan cukai produk tembakau juga meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan cukai dan pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Melalui pengelolaan alokasi DBHCHT yang baik, petani dapat memperoleh bantuan seperti alih tanam, diversifikasi, maupun pengolahan tembakau menjadi produk non-rokok. “Petani sendiri lebih mengeluhkan pada sistem tata niaga tembakau yang merugikan, bukan pada kenaikan cukai. Bahkan petani ingin kenaikan cukai berdampak langsung pada petani melalui alokasi DBHCHT. Oleh karena itu, kenaikan cukai bisa menjadi win-win solution antara masyarakat, pemerintah, dan kelompok petani.” Tutup Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D, Ketua PKJS-UI.ancaman perubahan iklim termasuk di sentra perkebunan tembakau, sehingga perlu



Posting Terkait

Jangan Lewatkan