Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama Gerakan Bela Negara menggelar Diskusi Kebangsaan dengan tema “Mencari Solusi Permasalahan Negara Dan Bangsa Negara” secara hybrid baik online maupun offline dan sesuai dengan protokol kesehatan 5 M di Gedung DPD RI, Senayan Jakarta pada hari Senin, 14 Maret 2022.
Adapun acara Diskusi kebangsaan tersebut dihadirkan narasumber yang sesuai dengan undangan yaitu :
1. La Nyalla Mattalitti (Ketua DPD RI)
2. Brigjen TNI Purn Hidayat Poernomo (Ketua Umum Gerakan Bela Negara)
3. Amien Rais (Ketua Majelis Syuroh Partai Ummat)
4. Din Syamsuddin (Ketua Pengarah Indonesia Maju)
5. Dr. Suteki (Guru Besar Hukum dan Masyarakat FH UNDIP)
Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattaliti menjelaskan dalam sambutan nya bahwa, acara tersebut bertujuan untuk menyerap pemikiran dan pendapat para tokoh bangsa untuk menjawab persoalan yang terjadi di negeri ini.
“Kita sebagai elemen bangsa tentu ingin berkontribusi sebaik mungkin bagi negara. Kita ingin mengumpulkan pendapat para tokoh berkompeten sehingga nantinya bisa menjadi masukan bagi DPD RI dalam melangkah ke depan dalam penyelesaian masalah fundamental bangsabangsa.”
“Begitu juga ucapan terima kasih kepada Bela Negara yang hari ini bersama DPD RI menggelar dialog kebangsaan dalam rangka mencari solusi negara dan bangsa demi masa depan Indonesia yang lebih baik dan demi mempercepat terwujudnya cita cita nasional yang bermuara kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebetulan hari ini hadir 2 tokoh nasional yang menggagas lahirnya 2 partai politik baru di Indonesia, yaitu Amien Rais (menggagas lahirnya partai Ummat) dan Din Syamsudin (menggagas lahirnya partai Pelita), bahwasanya salahsatu alasan mengapa masyarakat mendirikan partai politik baru adalah sebuah tawaran jawaban atas eksistensi partai politik lama yang dinilai oleh sebagian masyarakat tidak mampu menjawab atau memberikan solusi untuk mempercepat tercapainya cita cita nasional negara ini. Sehingga salahsatu tujuan dari lahirnya partai politik tersebut adalah juga untuk menempatkan kader terbaiknya sebagai pemimpin nasional dalam hal ini sebagai Presiden atau Wakil Presiden, sehingga partai politik baru bersemangat untuk bisa menjawab kelemahan partai politik lama dengan sebuah energi dan harapan baru termasuk kesiapan untuk mengajukan / mengusulkan pasangan capres dan cawapres dalam kontestasi pilpres.
Disinilah muncul permasalahan kebangsaan ini dimana partai politik baru sebagai peserta pemilu tidak dapat mengajukan calon presiden dan wapres karena belum basis suara pada pemilu 2019, sehingga harapan dan tumpuan rakyat kepada partai politik baru sebagai saluran evaluasi terhadap pemimpin nasional (Presiden dan Wakil Presiden) pupus/kandas hanya karena keberadaan satu pasal dalam undang undang pemilu, yaitu pasal 222 dimana partai politik baru harus menunggu dipemilu berikutnya lagi untuk dapat mengajukan dan mengusung capres dan cawapres. Dan penjegalan ini bukan saja melanggar pasal 6 A ayat 2 konstitusi kita tetapi juga melanggar pembukaan UUD 1945 dan maklumat wakil presiden 3 November 1945 tentang pendirian partai politik serta Undang Undang partai politik yang semua muaranya adalah menciptakannpemilu yang berintegritas dan memiliki kepastian hukum untuk tercapainya tujuan nasional, tetapi faktanya pasal 222 telah menjegal dan memvonis bahwa tidak semua partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan cqpres dan cawapres hanya karena tidak punya basis suara hasil pemilu 2019.
Jadi partai Ummat, partai Pelita dan partai politik baru lainnya yang tentu tujuannya untuk menawarkan gagasan sekaligus melakukan evaluasi atas ketidak puasan terhadap kinerja partai politik yang lama terutama dalam menyajikan calon pemimpin bangsa ditahun 2024 nanti tidak akan bisa berbuat banyak karena salah satu hak konstitusionalnya yang dijamin undang- undang padal 6 A ayat 2 dimatikan begitu saja oleh UU Pemilu pasal 222, sehingga saya (La Nyalla) memberikan dukungan kepada upaya partai Ummat, partai Pelita dan partai politik baru lainnya untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas keberadaan pasal 222 dalam UU pemilu tersebut.
Rasanya terlalu banyak jika kita mau mendata satu persatu masalah kenegaraan dan masalah kebangsaan dinegeri ini, terutama jika kita fokus menarik garis awal dari era reformasi yang ditandai dengan amandemen konstitusi di tahun 2002 silam, terpaksa menandatangani letter of intent dengan disodorkan oleh IMF dengan sekian banyak syarat yang memaksa negara ini memasuki pasar bebas dan membuka keran bagi swasta untuk masuk ke ranah kekayaan negara, yaitu bumi, air dan isinya yang sejatinya harus dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Saat itu juga melalui ketetapan MPR no 18 tahun 1998 tanggal 13 November 1998 bahwa MPR telah mencabut ketetapan tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P 4). Dikatakan alasan pencabutan Tap MPR tentang P4 itu adalah karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Jadi sejak November 1998, P4 dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, jadi rupanya perubahan mendasar arah bangsa ini telah didesain sedemikian rupa agar bangsa ini menjadi bangsa lain, bangsa yang tercerabut dari watak dasar dan watak asli yaitu Pancasila demi menjadi bangsa yang dianggap demokratis dalam ukuran kacamata barat, lalu apa hasil dari amandemen konstitusi 20 tahun silam secara umum dapat dikatakan bahwa hasil yang paling mencolok dan dapat kita rasakan adalah hegemoni partai politik yang begitu kuat mencengkeram negeri ini sehingga elemen-elemen non partisan termasuk unsur unsur golongan seperti bagian dari pemilik kedaulatan telah kehilangan perannya bahkan DPD RI sebagai bagian dari wakil daerah juga tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam konstitusi, sekarang hanya partai politik yang menentukan arah perjalanan bangsa ini karena hanya partai politik yang bisa mengajukan dan menentukan calon presiden/wakil presiden harus dipilih oleh rakyat.
Partai politik melalui fraksi di DPR juga yang membentuk UU bersama pemerintah yang hasilnya mengikat seluruh warga negara untuk tunduk dan menjalankan, dan ketika mayoritas partai politik yang sekarang ada berkoalisi dengan Pemerintah maka kita menyaksikan dan merasakan apa yang terjadi belakangan ini dan semua, seperti berjalan sesuka sukanya. Aturan yang tidak sesuai diganti begitu saja secepat kilat, UU dikebut cepat untuk disahkan tidak peduli walaupun masyarakat menolak dan partai politik bersepakat membuat aturan ambang batas pencalonan Presiden (President threshold), meskipun semua pakar dan ahli tata negara mengatakan hal itu lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya, bahkan memecah bangsa dalam polarisasi yang tajam. Tetapi semua berlalu dan tetap berjalan, salahsatu contoh tentang wacana penundaan Pemilu,” tutupnya. red Irwan