” Jingga Kelabu ” Cerpen Karya Mahasiswi Universitas Gunadharma Jakarta Annisa Masri

Suara adzan subuh berkumandang bersamaan dengan kokok ayam jantan yang terdengar nyaring di belakang rumah berlantaikan tanah serta berdinding bambu hampir rubuh. Aku Nayla, gadis berusia 17 tahun yang sebentar lagi akan menyelesaikan masa pendidikan SMA. Kukenakan mukena berwarna putih yang sudah lusuh kemudian membentangkan sejadah untuk bermunajat kepada-Nya. Ada banyak doa yang aku panjatkan hampir setiap saat, doa yang sama dan tak pernah jemu kuulang kepada Sang Pencipta. Salah satu dan yang paling utama tentu saja kesehatan serta umur Ayah yang kupinta terus dipanjangkan agar ia bisa melihatku mengubah nasib ekonomi keluarga ini.
Seusai sholat, aku segera mandi dan mulai memasak makanan yang monoton. Sayur sop sisa dagangan para pedagang pasar yang tidak laku, ikan goreng hasil tangkapan Ayah dan tempe goreng tanpa sambal. Nikmat sekali rasanya jika makanan sesederhana ini disantap dengan penuh sukacita.
“Ayah, mau ke mana?” tanyaku saat melihat pria bertubuh ringkih yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu berpakaian rapi, tidak seperti biasanya.
“Hari ini Ayah mau pergi ke acaranya ketua adat, biasanya di sana diberi makanan. Nanti Ayah bawa pulang untuk Nayla.”
Aku tersenyum tipis. Aku tahu, Ayah sangat menyayangiku, ia akan melakukan banyak cara agar aku merasa senang. “Terima kasih, Ayah. Nayla sayang Ayah.” Aku memeluknya erat meski kurasakan badannya yang semakin hari semakin tidak berisi, indra pendengarku menangkap suara perutnya yang berbunyi minta di isi. “Ayah lapar ya? Sebentar ya, sayurnya sedikit lagi matang.”
Ayah melepaskan pelukanku dan mengangguk senang. Ia berjalan menuju kursi di dekat jendela kemudian membukanya lebar, membiarkan udara pagi masuk ke dalam rumah kecil ini. Diraihnya sekotak tembakau dengan daun linting lalu digulungnya hingga membentuk sebatang rokok. Hembusan asap rokok mengepul di udara, bercampur jadi satu dari asap kayu bakar yang kugunakan untuk memasak.
“Ayah, ayo makan bersama.” Aku menuangkan sayur sop yang masih panas ke dalam mangkok plastik lalu meletakkannya di atas meja satu-satunya yang kami punya. Kuaduk nasi di dalam dandang yang baru matang dan menyuguhkannya kepada Ayah. Tidak berhenti di situ, aku beranjak membuatkan dua cangkir teh manis untuk kunikmati bersama Ayah.
Seusai sarapan, aku mengganti bajuku dengan seragam sekolah dan berangkat bersama Ayah yang juga hendak pergi ke acara adat di desa kami. Sepanjang perjalanan, Ayah menggenggam jemariku dengan erat. Senyumku terukir, umurku sudah tujuh belas tahun tapi Ayah menyayangiku layaknya anak kecil yang masih bersekolah di taman kanak-kanak.
“Besok Nayla libur, kan? Kita ke makam Ibu ya.”
Aku mengangguk setuju. Sudah berapa lama ya, aku tidak mengunjungi rumah Ibu? Satu bulan? Dua bulan? Entahlah, rasanya sudah cukup lama aku tidak ke sana. Terakhir kali aku ke makam Ibu bersama Abang Reno dan Kak Nilam yang saat ini keduanya tengah mengadu nasib di perantauan. Itu pun mereka pulang karena lebaran, dua saudaraku yang lainnya tidak bisa pulang karena berada di luar negri sebagai pembantu rumah tangga.
“Nayla kangen sama Ibu, kangen banget.”
Biasanya, setiap pagi Ibu sudah sibuk menyalakan api tungku sembari mengomel karena kayunya yang basah lalu memarahiku karena tidak kunjung bangun tatkala adzan subuh sudah berkumandang.
Sekarang sudah satu tahun tidak kudengar suara itu. Rindu sekali rasanya. Rindu omelan Ibu yang sesekali menusuk hati, rindu masakan Ibu yang meskipun monoton dengan yang kumasak setiap hari namun rasanya sepuluh kali lipat lebih lezat.
“Kita semua kangen Ibu, doakan Ibu agar tetap diberi kemudahan di alam kubur ya, Nak.” Ayah mengusap kepalaku dengan pelan.
“Iya, Ayah.”
“Doakan Ayah juga, apabila nanti umur Ayah udah habis, Ayah hanya butuh doa dari anak-anak Ayah.”
Aku tidak suka saat Ayah membahas seperti ini. Kehilangan Ibu saja sudah membuatku trauma dan ketakutan. Aku tidak mau kehilangan Ayah juga. Aku tidak siap, dan tidak akan pernah siap untuk itu meskipun aku tahu, setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Bisakah nanti Tuhan mengambil nyawaku satu hari lebih dulu sebelum mencabut nyawa Ayah juga?
Ayah melepaskan genggamannya lalu berbelok ke rumah datuk di desa kami dan membiarkanku melanjutkan perjalanan ke sekolah sendiri.
“Pagi, Nayla.” Seseorang yang tengah mengendarai motor berhenti di dekatku. “Mau Abang anterin ke sekolah gak?”
Aku melirik pria dengan rambut warna kulit jagung kering itu dengan menyipitkan mata. “Enggak deh, makasih tawarannya.”
“Gratis ini, Nay. Kapan lagi Abang yang anter?”
Aku menggeleng dan memaksakan senyuman tipis terbit di wajahku. “Jalan kaki lebih sehat, kapan-kapan aja.” Aku berjalan mendahuluinya dengan tergesa.
“Sombong banget deh, udah miskin belagu sok cantik. Dasar anak tukang hutang.” Ia memakiku dengan suara nyaring.
Kesal, aku meraih sebuah batu dan melemparkannya dengan penuh amarah. “Gak usah bawa-bawa ayahku!” seruku dengan suara bergetar menahan tangis.
“Sakit, tau!”
“Rasakan,” ujarku seraya berbalik badan dan menjauhinya dengan cepat.
Sepagi ini saja, moodku sudah dihancurkan dengan mudahnya oleh orang lain. Menyebalkan! Jika harus beradu tinju, aku tidak pernah takut dengan siapapun jika orang itu menyenggol keluargaku.
Hampir setengah jam berjalan, akhirnya aku sampai di sekolah tempatku menuntut ilmu.
“Nayla, nanti saat jam istirahat tolong ke kantor guru ya.” Bu Tika mendatangiku yang baru saja hendak masuk ke dalam kelas.
Aku mengangguk dengan senyuman tipis. Sebab aku sudah tahu penyebab aku dipanggil, satu bulan yang lalu aku mengalaminya juga. Ini tentang uang SPP yang belum kunjung kubayar dua semester sedangkan dua bulan lagi sudah memasuki ujian nasional.
Kulemparkan tas ke atas meja lalu meletakkan kepalaku di atasnya. Kenapa segalanya terasa rumit sekali? Andai saja Ayah membolehkanku berhenti saat SMP, mungkin aku tidak perlu seresah ini sekarang.


Pulang sekolah, kuseret langkah dengan lunglai hingga sampai ke rumah.
Seperti biasa, hanya sendiri. Karena saat ini Ayah pasti tengah pergi melaut hingga sore menjelang maghrib nanti. Biasanya, aku akan menunggu kedatangan Ayah di tepi laut sembari bermain air ombak. Namun hari ini rasanya badanku lelah sekali, aku ingin tidur saja.
“Bagaimana kalau aku bekerja?” Aku yang tengah merebahkan diri di atas kasur langsung terduduk. Senyuman tipisku terulas, namun sedetik kemudian berganti murung. Sebab aku tahu, Ayah tidak akan pernah membiarkanku bekerja. Karena itu bisa mengganggu konsentrasiku untuk belajar.
Aku mendengus sebal dan kembali merebahkan diri seraya memeluk guling, kupilih untuk tidur siang saja. Karena kurasakan ada sesuatu yang aneh pada badanku.
Dua jam tertidur, pukul enam sore pintu rumahku diketuk dengan keras oleh seseorang.
“Nayla! La, buka pintunya cepat!” serunya tergesa.
Aku membuka kedua mataku yang tadi terpejam erat. Siapa lagi yang menggangguku? Apakah para tetangga yang hendak menagih hutang? Tidak bisakah mereka menunggu hingga ayahku pulang saja?
“Kenapa ya, Pak?” tanyaku tanpa membuka pintu. Hanya membuka jendela yang sudah reyot ini.
“Ayahmu, La! Ayahmu tenggelam!”
“Heh, Pak. Apa sih? Mending Bapak pulang aja, gak usah ngarang-ngarang cerita gak jelas!” bentakku.
Namun hatiku berdesir hebat. Tidak mungkin ini terjadi, kan? Aku sudah berdoa siang dan malam agar umur Ayah dipanjangkan setiap harinya. Doaku pasti didengar, kan?
“La, ayo keluar! Cepat, La!”
Napasku tercekat, aku keluar dari rumah dan mendekati seorang lelaki paruh baya yang tidak aku ketahui siapa namanya ini.
“Ayo naik, La. Kita harus cepat ke laut.”
Aku menurut dan naik ke atas motornya dengan posisi duduk di paling belakang. Mataku sontak memanas, seharusnya ini tidak terjadi. Jika memang tidak ada yang menyukai Ayah karena kami hidup miskin, setidaknya jangan membuatku ketakutan seperti ini.
Perjalanan terasa begitu lama, gemuruh jantungku tak henti menyebut Asma-Nya dan berharap rasa takut ini tidak menjadi nyata.
Sesosok tubuh kurus yang ditutupi kain batik panjang di pinggir laut membuat kakiku terasa lemas bak tanpa tulang. Detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya sehingga atmosfer di sekelilingku terasa begitu sempit. Mataku memanas, setitik tangis jatuh dari kelopak mata diikuti oleh aliran air mata yang tak henti. Dadaku sesak, sekuat tenaga aku berteriak. “AYAAAH…!”
Semuanya menggelap seketika.
Sejak kejadian hari itu, aku benci laut. Aku benci senja, aku benci ombak sebab ia yang telah menggulung tubuh Ayah sehingga tak lagi bernyawa. Aku benci desa ini dan aku benci dengan diri sendiri. Andai saja saat itu aku menjemput Ayah seperti hari biasa, andai saja aku tidak memilih tidur siang itu, andai saja.
Andai….
“Kamu ikut Mbak saja, La.” Mbak Rima, Kakak tertuaku memeluk tubuhku yang masih bergeming kaku. Tidak bisa percaya bahwa Ayah akan meninggalkanku secepat ini.
Ujian sekolahku cukup terganggu sehingga tak bisa kuperoleh nilai sempurna seperti biasa. Setelah itu, aku pindah ke kota bersama Mbak Rima. Meninggalkan tanah kelahiran dan segala muara rasa sakit di sini. Sebelum benar-benar pergi, aku mengunjungi dua gundukan tanah yang terletak berdekatan namun tidak bersebelahan itu. Kuluapkan semua tangisku di sana, terisak sepuas hati hingga tak lagi kurasakan ada air mata lagi yang jatuh.
Aku hanya perlu ikhlas dan berdoa.
Namun kenapa rasanya berat sekali?
Percayalah, sesakit-sakitnya ditinggalkan oleh pasangan, jauh lebih sakit rasanya tatkala ditinggalkan oleh orang tua.
Beberapa bulan setelahnya, aku perlahan mulai bangkit. Di kota ini bersama Mbak Rima, aku mulai mencari pekerjaan untuk tamatan SMA. Cukup sulit, tapi bukan berarti tidak ada. Saat ini aku bekerja di restoran dengan posisi waitress. Kucoba untuk ikhlas, menerima dengan lapang dada apa yang memang sudah menjadi takdir. Walau berat, jalani saja dengan penuh rasa syukur. Tak lupa kupanjatkan doa setiap sujud untuk Ayah dan Ibu, karena hanya itu yang mereka inginkan.
Senja yang indah tidak ada lagi ada di dalam kamus hidupku. Senja itu kelabu, karena hidupku rasanya luruh meski aku memaksakan untuk tetap selalu utuh.



Posting Terkait

Jangan Lewatkan