Akademisi Uncen Papua Menghimbau Lukas Enembe Ikuti Jejak Nelson Mandela

JAYAPURA – Gubernur Papua Lukas Enembe, sudah dua kali dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun Lukas Enembe tidak kunjung memenuhi panggilan pada 12 dan 26 September 2022 lalu.

Hal ini membuat proses hukum dugaan kasus Enembe menjadi tertunda Walaupun KPK memiliki kewenangan untuk menjemput paksa Lukas Enembe, tetapi pihak KPK lebih memilih mempersuasi Enembe guna menghindari konflik dan kekacauan di Papua.

Menyikapi kondisi tersebut, akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua, Laus Deo Calvin Rumayom dalam siaran persnya mengatakan, kasus Lukas Enembe maupun kasus – kasus lainnya di Papua harus ditangani secara khusus dan hati-hati mengingat mereka berada dalam komunitas masyarakat yang pernah mengalami trauma, di mana mereka punya pengalaman sakit hati, pengalaman tidak percaya kepada negara.

“Sehingga kalau terjadi kasus korupsi seperti ini, kita harus jelaskan kepada masyarakat, bahwa kasus ini tidak ada hubungannya dengan soal pelanggaran HAM, tapi ini adalah murni kasus penyalahgunaan wewenang,” terang Laus.

Ketua Analisis Papua Strategis ini menjelaskan, kalau yang digaungkan misalnya jemput paksa,atau narasi-narasi tanpa penjelasan yang lebih spesifik, maka masyarakat akan mempunyai kesimpulan sendiri-sendiri. Dampaknya, Penegak hukum akan kesulitan melaksanakan tugasnya . KPK juga harus menjelaskan, kepada masyarakat, apa masalahnya sehingga tidak bisa menahan Lukas Enembe, apakah karena masalah keamanan atau soal alat bukti yang belum cukup.

“Persoalan Gubernur Papua ini adalah persoalan kita bersama. Kita tidak boleh biarkan Bapa Lukas sendiri, tidak boleh biarkan Pemerintah Provinsi Papua ini sendiri, tidak boleh biarkan KPK bergerak sendiri, TNI-Polri bergerak sendiri,” imbau Laus.

Dirinya melihat ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari peristiwa ini, peristiwa untuk melahirkan sebuah konsep pembangunan Papua dengan satu prespektif baru, yaitu pendekatan antropologis, pendekatan filosofis, pendekatan partisipatif, kita terlibat secara bersama-sama.

“Pengalaman dari kasus ini menjadi sebuah peta demokrasi kita di Papua ke depan dan di Indonesia, bahwa kesalahan-kesalahan yang tejadi di masa lalu selama 20 tahun tentu sudah harus ada di dalam matriks atau statistik. Kurangnya di mana. Yang kurang-kurang inilah yang kita ambil, kita siapkan untuk 20 tahun ke depan. Tidak boleh terulang kembali, misalnya mencegah terjadinya korupsi, mencegah terjadinya pelanggaran HAM, mencegah terjadinya konflik budaya dan konflik sosial, dan lain-lain,” ujar Laus.

Untuk tujuan itu, Laus telah menginisiasi suatu gerakan dengan membentuk Tim Advokasi Independen bagi Gubernur Papua. Yang dilakukan tim ini antara lain mengoleksi semua data, informasi untuk dikaji, diolah. Tim advokasi ini tidak memihak kepada Gubernur atau KPK, tetapi secara independen.

“Advokasi ini diperlukan, supaya jangan ada korban. Supaya jangan masyarakat kita tertipu, jangan masyarakat kita miskin dengan data, sehingga dia bisa mengambil kesimpulan-kesimpulan yang kemudian berimplikasi pada gerakan perlawanan. Terkesan itu terjadi bukan saja karena mobilisasi tetapi karena masyarakat tidak punya pemahaman politik yang baik, tidak punya pengetahuan tentang informasi-informasi mana yang benar dan mana yang hoaks,” kata Laus.

Dijelaskan bahwa Tim advokasi independen ini menganggap bahwa kita semua berkepentingan untuk memperbaiki Papua ke depan, sehingga dalam kasus ini, tim advokasi tidak hanya berdebat secara hukum dan politik, tetapi berdebat untuk memperbaiki Papua 20 tahun ke depan.

“Sehingga siapapun pemimpin Papua ke depan, siapapun bupati-bupati di Papua dan Papua Barat ke depan, kita tidak lagi melakukan kesalahan-kesalahan yang sama yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya,” sebut Laus.

Kepada Gubernur Lukas Enembe, Laus berpesan agar dapat mengikuti jejak Nelson Mandela yang menjadi contoh bagi negara-negara demokrasi di dunia. Nelson Mandela setelah 27 tahun mendekam dalam penjara, ia tetap menyerukan perdamaian dan pengampunan bagi lawan-lawan politiknya. Nelson Mandela dikenang sebagai tokoh politik yang berani memberikan pengampunan kepada Apartheid. Karena dengan pengampunan itulah, Afrika Selatan kini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang dihargai, bangsa yang bermartabat.

“Gubernur Papua sebagai pemimpin Papua harus bisa mengampuni dirinya sendiri, mengampuni rakyatnya, mengampuni pihak-pihak yang menghakimi dirinya. Karena dengan mengampuni, ia akan mendapatkan pahalanya, mendapatkan apa yang menjadi haknya,” pesan Laus.

Laus berharap Bapak Lukas Enembe tetap kuat, tetap tegar, tetap menggunakan khikmad Tuhan. Kesalahan sebagai manusia pasti terjadi, tetapi kalau kita punya niat baik untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, pasti Tuhan akan buka jalan.’[*



Posting Terkait

Jangan Lewatkan